Mendengar Pak Chatib Basri diwawancarai di Metro TV, penulis tergelitik untuk sedikit berkomentar di sini. Beliau mengatakan bahwa Kemenkeu menyetujui proposal mobil murah dari Kemenperin karena nantinya tidak akan mengkonsumsi bahan bakar bersubsidi, dengan kata lain menggunakan bensin non subsidi. Ini logika aneh karena untuk apa ada mobil murah kalau bahan bakarnya mahal. Mengapa bukan mobil mahal diwajibkan berbahan bakar mahal? Kata Menperin, kebijakan mobil murah diberlakukan agar masyarakat berpenghasilan pas-pasan bisa membeli mobil. Nah, kalau bahan bakarnya mahal, percuma beli mobil tapi tidak mampu beli bensin. Lebih baik bangun transportasi massal daripada menggelontorkan kebijakan mobil murah yang malah menambah penuh jalanan.
Para akademisi, pengusaha, atau siapapun bila sudah masuk ke birokrasi, bisa mendadak 'bodoh' atau berpikir tidak logis. Dari logika di atas saja sudah tidak nyambung alias jaka sembung. Seolah-olah masyarakat pendengarnya itu 'bodoh' dan tak perlu berpikir lagi bila pejabat sudah bicara. Mereka lupa bahwa masyarakat sudah pintar untuk menilai logis atau tidak logisnya suatu pernyataan, dan tidak menyadari dampak yang akan ditimbulkan. Masih lebih bisa dipahami ungkapan Vicky, labil ekonomi perlu statutisasi kemakmuran melalui kudeta hehehe, artinya orang yang labil ekonomi perlu dibantu agar meningkat derajatnya.
Kembali ke laptop, masyarakat seperti dininabobokan dengan adanya mobil murah mereka berbondong-bondong ke dealer mobil untuk inden. Tapi rupanya ini cuma jebakan batman, karena ternyata akan ada kebijakan larangan untuk membeli premium bagi mobil murah tersebut. Dengan perhitungan sederhana saja, sehari minimal isi 10 liter BBM, bila menggunakan premium maka diperlukan biaya Rp. 65.000 per hari, dikali 20 hari kerja, jadi Rp. 1.300.000 per bulan. Dalam setahun dihabiskan Rp. 15.600.000 atau dibulatkan jadi Rp. 16.000.000 untuk bahan bakar. Bandingkan bila isi pertamax, diperlukan biaya rata-rata Rp. 10.000 per liter, maka dalam sehari habis Rp. 100.o00, dikali 20 hari kerja, jadi Rp. 2.000.000 per bulan, dikali 12 bulan, jadi Rp. 24.000.000 dibulatkan jadi Rp. 25.000.000. Tiap tahun ada selisih hingga Rp. 9.000.000. Kalau pemakaian kendaraan rata-rata 10 tahun, maka selisihnya bisa Rp. 90.000.000, mendingan beli mobil mahalan sedikit tapi menggunakan premium daripada beli mobil 'murahan' tapi minum pertamax.
Bila kebijakan itu jadi diterapkan, dapat dibayangkan betapa sulitnya 'mengusir' mobil murah tersebut untuk tidak mengisi bensin bersubsidi. Para penggunanya pasti akan berdemo karena tidak terima diskriminasi tersebut, dimana mobil pribadi menengah ke atas boleh minum BBM bersubsidi sementara mobil murah dipaksa minum BBM nonsubsidi. Tolong pak menteri dan pak SBY, berpikirlah logis dan pahami dampaknya sebelum bikin kebijakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H