Sejak awal pelantikan hingga larut malam hari, sebagian rakyat berpesta menyambut hadirnya sosok presiden baru yang benar-benar orisinal. Orisinal dalam arti menjadi trend setter dalam berbagai hal, mulai arak-arakan dari gedung MPR hinga ke Istana Merdeka, pidatonya yang to the point dan terkesan informal namun membumi, gayanya berlari-lari di atas panggung, serta sedikit kegugupannya memasuki ranah yang selama ini didominasi kaum elit negeri ini. Pesta yang benar-benar meriah dan spontan, nyaris tanpa embel-embel lima puluh ribuan untuk 'dipaksa' hadir ke acara tersebut. Semua tumpah ruah ke jalanan menyambut hadirnya sang presiden baru menyongsong era baru dan harapan baru pula.
Dari berbagai peristiwa yang terjadi kemarin, tampak satu hal bahwa presiden baru sepertinya ingin menciptakan transformasi dari hal-hal yang selama ini hanya tersentuh kalangan elit menjadi egaliter alias milik seluruh rakyat. Istana yang tadinya sakral ingin diubah menjadi tempat bernaung yang nyaman serta tempat mengadu. Presiden yang tadinya hanya mampu disalami oleh kalangan elit menjadi presiden yang bersalaman dengan seluruh rakyat. Sang presiden baru ingin memposisikan dirinya sebagai pelayan rakyat, bukan lagi dihambai apalagi disembah rakyat. Nampak sekali kecanggungan beliau saat harus menghadapi hal-hal yang bersifat formal, seperti saat upacara sertijab, atau saat berpidato setelah mantan presiden sebelumnya berpidato. Tampak perbedaan mendasar kala pak SBY berpidato dengan sistematis, terstruktur, dan lancar, dibanding dengan pak Jokowi yang lebih sering terdiam sebelum melanjutkan pidatonya.
Namun persoalan berikutnya adalah bagaimana transformasi yang ingin diciptakan beliau bisa tertular kepada segenap aparatur pemerintahan di negeri ini yang telah sangat terbiasa dengan formalitas dan berhadapan dengan perilaku elitis. Ini tugas berat pertama yang diemban presiden baru bersama wakilnya yang karakternya juga hampir sama. Karakter elitis yang menyelimuti birokrat di negeri ini tidak begitu saja mudah berubah menjadi egaliter. Kebiasaan untuk dilayani yang selama ini menjadi karakter birokrat sudah menjadi kanker stadium lima yang hampir mustahil untuk berubah. Karakter inilah yang menyuburkan praktik korupsi dan kolusi sehingga wajar apabila masih banyak pasien KPK antri untuk diperiksa.
Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan peran aktif rakyat yang seharusnya dilayani untuk ikut serta dalam membangun negeri ini bersama para birokrat. Semua urusan publik tidak lagi menjadi kewenangan elit birokrasi, tapi juga mengajak peran serta masyarakat untuk bersama-sama membangun dan memelihara setiap fasilitas publik. Urusan publik adalah urusan kita semua, bukan lagi monopoli elit birokrasi sehingga tercipta kesinambungan pembangunan terutama dalam hal pelayanan publik. Bila karakter elitis dan birokratis bisa diubah menjadi lebih egaliter, yakinlah Indonesia akan mampu bersaing dengan negara lain, bahkan tidak perlu mengimpor bahan mentah serta mengekspor TKI, malah yang terjadi akan sebaliknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H