Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Mengapa Wisatawan Indonesia Lebih Suka ke Negeri Jiran?

8 Januari 2015   22:15 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:32 999
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Cobalah perhatikan ketika kita masuk konter imigrasi baik di bandara Soetta, lorong paspor Indonesia selalu lebih ramai dari lorong foreigner alias orang asing, baik berangkat maupun kembali dari luar negeri. Atau ketika kita menunggu boarding di bandara KLIA (1/2) atau Don Muang/Suwarnabhumi, pasti suara obrolannya lebih familiar bahkan dibanding bahasa lokal mereka sendiri. Rupanya banyak wisatawan asal Indonesia melancong ke negeri jiran alias tetangga daripada jalan-jalan di negeri sendiri. Memang belum ada statistik yang membandingkan jumlah wisatawan asal Indonesia ke luar negeri dengan di dalam negeri, namun setidaknya dari pemandangan di bandara tampak bahwa populasi kita cukup mendominasi area bandara terutama saat boarding menuju tanah air tercinta.

Berdasarkan hasil ngobrol-ngobrol atau wawancara dengan mereka, ada beberapa faktor yang membuat wisatawan Indonesia lebih nyaman bepergian ke luar negeri daripada berwisata di negeri sendiri, antara lain:

1. Transportasi

Cobalah bayangkan bila Anda dari negeri antah berantah pertama kali keluar dari bandara Soekarno-Hatta. Mohon maaf yang timbul adalah kebingungan mencari transportasi massal. Memang ada Damri, tapi rutenya tidak terpampang jelas serta platformnya bebas sehingga cukup menyulitkan terutama bagi orang asing yang tidak bisa berbahasa Indonesia. Di negeri jiran, baik Singapura, Kuala Lumpur, maupun Bangkok sudah tersedia MRT dari bandara ke pusat kota sehingga bagi yang pertama kali datang tidak terlalu membingungkan.

Transportasi perkotaannya, terutama Jakarta juga cukup rumit, untungnya sekarang sudah ada busway yang sedikit membantu memecahkan kerumitan. Tapi persoalannya harus beli kartu prabayar dulu baru bisa naik busway. Naik bus umum agak ribet kalau tidak tahu rutenya. Alternatif paling mudah tentu menggunakan taksi atau rental mobil, tapi inipun mahal. Di kota-kota besar Indonesia, belum tersedia transportasi umum yang memadai sehingga terpaksa harus naik taksi atau rental kendaraan. Bahkan di Kuta yang terkenal itu saja hampir tidak ada transportasi umum sehingga harus sewa kendaraan atau jalan kaki. Mau bawa kendaraan sendiri, macetnya luar biasa apalagi bila libur panjang tiba.

Transport antar kotanya juga cukup mahal bila menggunakan pesawat terbang, bahkan dengan jarak yang sama, misal Jakarta-Medan/Makassar dengan Jakarta-Kuala Lumpur terkadang lebih murah Jakarta-Kuala Lumpur. Belum lagi transportasi laut, terutama untuk menuju pulau-pulau kecil, lebih mudah menyewa perahu walaupun mahal daripada naik perahu umum yang harus menunggu sampai penumpang penuh, dan tetap mahal pula. Padahal penumpang di daerah terpencil relatif jarang sehingga terkadang bisa menunggu hingga berjam-jam untuk menyeberang sekitar 30 menit hingga satu jam saja.

Kendaraan umum disana juga relatif tepat waktu dan relatif tepat berhenti alias tidak berhenti di sembarang tempat, terutama untuk angkutan umum yang terjadwal baik dalam kota maupun luar kota. Mereka tidak menunggu hingga penuh atau minimal memperpanjang waktu tunggu sampai lebih dari 10 menit, tapi langsung berangkat begitu tiba waktunya.

2. Kenyamanan

Secara kultural mungkin tidak jauh beda karena masih sama-sama serumpun dari pegunungan Yunan. Tapi cobalah makan di kaki lima, kalau disini hampir tiap lima menit pengamen atau pengemis datang. Di negeri jiran, pengamen atau pengemis juga ada, tapi nangkring di tempat tertentu, atau kalaupun ada yang keliling jumlahnya tidak banyak, dan tidak pernah memaksa pengunjung untuk menyumbang. Pengamennyapun bernyanyi serius, tidak asal nabuh gendang begitu saja, kadang juga membawa sound system sehingga tampak profesional.

Di beberapa terminal busnya juga ada calo seperti disini, tapi sekali lagi, asal kita agak cuek mereka tidak terlalu memaksa bahkan mendorong-dorong naik ke bus tertentu. Demikian pula di tempat wisata, hampir tidak ada tukang parkir liar atau tukang palak alias polisi cepek. Pedagang di tempat wisatanya juga relatif lebih ramah dan tidak memaksa untuk membeli (kecuali tentu bila sudah tawar menawar dan sepakat, mereka akan marah bila tidak jadi membeli), hampir tidak tampak pedagang asongan, semua tertib di kiosnya masing-masing. Pengjunjung pun merasa nyaman walau terkadang tarif masuknya lebih mahal dari obyek wisata di Indonesia.

Berjalan di siang atau malam hari, walaupun di Bangkok juga banyak scammer alias tukang tipu, namun kondisinya tidak seseram di Jakarta. Boleh dikatakan hampir tidak ada pencurian dengan kekerasan, paling-paling kecopetan atau tertipu oleh para scammer. Perjalanan antar kota juga relatif aman dengan bus atau kereta api, tidak ada pengamen atau pedagang asongan di dalam bus yang mengganggu kenyamanan tidur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun