Malino merupakan kawasan perkebunan dan tempat peristirahatan yang telah ada sejak zaman Belanda, dan boleh dibilang sebagai Puncaknya orang Makassar. Kawasan ini terletak di perbukitan dengan ketinggian sekitar 1100 mdpl dan berjarak sekitar 70 Km dari Makassar. Walaupun hanya berupa desa kecil, Malino pernah menjadi saksi sejarah setidaknya dua peristiwa besar di Republik ini.
Tampak Depan Gedung Konferensi Malino (Dokpri)
Pertama, Konferensi Malino pada tanggal 15-25 Juli 1946 yang diselenggarakan oleh van Mook untuk membentuk negara-negara federasi di wilayah Indonesia Timur yang meliputi Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil (Bali dan Nusa Tenggara) (sumber
disini). Kedua, Deklarasi Malino I yang mengakhiri konflik di Poso pada tanggal 20 Desember 2001 (sumber
disini) dan Deklarasi Malino II untuk mengakhiri konflik di Ambon pada tanggal 13 Februari 2002 (sumber
disini).
Pintu Masuk Gedung Konferensi (Dokpri)
Namun ketika saya berkunjung ke sana November tahun lalu, tak tampak penanda tempat bersejarah tersebut. Gedung Konferensi Malino saat ini digunakan oleh Balai Pengobatan Ratna Miriam dan tak tampak satu tulisanpun dari luar yang menandakan bahwa tempat ini pernah menjadi lokasi konferensi. Saya bertanya sana sini dan ternyata tidak semua orang tahu bahwa di tempat itu pernah terjadi peristiwa sejarah di masa lalu.
Hotel Celebes Tempat Deklarasi Malino 1 dan 2 (Dokpri)
Sementara tempat dilangsungkannya Deklarasi Malino I dan II berada di Hotel Celebes yang terletak di depan jalan masuk menuju kota. Lagi-lagi tidak ada penanda bahwa di tempat tersebut juga pernah terjadi peristiwa bersejarah. Padahal peristiwa tersebut merupakan tonggak dimulainya perdamaian di Poso dan Ambon hingga hari ini. Tidak ada musium atau satu tempat saja disisakan untuk menyimpan kenangan bersejarah tersebut.Â
Pintu Masuk Hutan Wisata Pinus (Dokpri)
Namun demikian, Malino tidak hanya meninggalkan jejak sejarah semata. Malino juga dikenal sebagai kota bunga karena banyaknya jenis bunga tropis yang tumbuh disini. Di sini juga terdapat obyek
wisata alam seperti perkebunan, hutan wisata alam, dan air terjun yang tersebar tak jauh dari pusat kota. Di depan hutan wisata alam terdapat warung-warung kopi yang menyediakan aneka minuman dan makanan hangat untuk mengatasi dinginnya alam pegunungan. Di sini juga terdapat beberapa penginapan namun rata-rata kondisinya sudah tua dan cenderung kurang terawat.
Air Terjun Takapala (Dokpri)
Untuk menuju ke Malino sebaiknya menyewa kendaraan dari Makassar, karena walaupun ada angkutan umum namun setiba di tempat akan sulit untuk menjangkau beberapa obyek wisata karena tidak ada angkutan lokal, hanya ada ojek saja yang bisa disewa. Jalan desa terutama menuju air terjun masih berupa jalan tanah dan sulit dilalui sewaktu hujan. Belum ada perbaikan infrastruktur oleh pemerintah dan semuanya masih dikelola oleh warga lokal.
Jalan Masuk ke Air Terjun Masih Kerikil (Dokpri)
Tak jauh dari Malino, di tengah-tengah perjalanan menuju Makassar, terdapat bendungan Bili-Bili yang merupakan reservoir untuk kota Makassar dan sekitarnya. Di sini kita juga bisa rehat sejenak menikmati pemandangan alam dengan latar belakang waduk dan perbukitan. Bendungan ini merupakan yang terbesar di Sulawesi Selatan dengan luas sekitar 40 Ha.
Pemandangan Bendungan Bili-Bili (Dokpri)
Bila bertugas ke Makassar, jangan lewatkan untuk berwisata ke Malino. Udara yang sejuk cukup menyegarkan raga dan menghilangkan kepenatan kota. Semoga ke depan Malino jadi perhatian pemerintah pusat untuk dikelola sebagai wisata sejarah sekaligus alam agar tidak terlupakan oleh generasi muda kita bahwa kota tersebut memiliki arti sejarah bagi republik ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya