Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Gaya Hidup Menjadi Penentu Cairnya Kredit

21 Januari 2015   18:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:40 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berkelana ke negeri jiran dan ngobrol dengan teman yang tinggal di sana ternyata banyak memberikan informasi baru bagi saya pribadi. Salah satunya adalah proses appraisal dalam menentukan cair tidaknya kredit untuk membiayai usaha. Teman saya ini WNI yang menikah dengan WN Malaysia dan kemudian memperoleh PR disana. Karena bosan kerja, mereka berinisiatif membuka usaha, mulai dari kebun sawit hingga kelontong, namun belum juga berhasil. Suatu ketika ada tawaran dari sebuah perusahaan minyak untuk membuka SPBU, dan dia langsung mengajukan permohonan kredit kepada bank untuk membiayai pengelolaan SPBU tersebut. Karena bukan WN Malaysia, maka dia menggunakan nama istrinya dalam aplikasi pembiayaannya karena disyaratkan harus warga negara setempat.

Singkat cerita, ketika pihak bank akan mengecek ke rumahnya, dia panik karena rumahnya masih kontrakan, bukan milik pribadi. Sempat terlintas ide numpang di rumah mertua, namun diurungkan karena khawatir kalau ketahuan bakal jadi panjang urusannya. Jaminan yang bisa diagunkan adalah surat kendaraan pribadi dan slip gaji sebagai karyawan karena mereka masih bekerja sambil nyambi usaha. Mereka datang mencek rumah, ngobrol dengan istrinya sambil nanya-nanya maksud dan tujuan pinjam uang serta jaminan yang ada. Beberapa hari kemudian, pihak bank datang lagi dengan orang yang berbeda dan kembali ngobrol ngalor ngidul seputar usaha yang akan dijalankan. Setelah dua tiga kali kunjungan, sebulan kemudian kredit cair, dan teman saya ini mengikuti pelatihan pengelolaan SPBU oleh perusahaan minyak tersebut.

Cukup mengejutkan buat dia karena bisa lolos kreditnya padahal belum punya rumah dan tanah sebagai jaminan, padahal di Indonesia sulit memperoleh kredit kalau rumahnya masih kontrakan. Selidik punya selidik, ternyata mereka beberapa kali datang mengunjungi ke rumah dia sebenarnya untuk melihat gaya hidup calon debitur, apakah konsumtif atau tidak. Jadi gaya hidup menjadi salah satu penilaian yang menentukan lolos tidaknya kredit, bukan sekedar aset yang dimiliki saja. Walaupun punya rumah sendiri kalau gaya hidupnya konsumtif, kecil kemungkinan cair kreditnya karena dikhawatirkan akan disalahgunakan untuk membeli barang-barang konsumsi ketimbang produksi.

Mungkin hal ini perlu dipertimbangkan dalam pemberian kredit terutama kredit produktif, tidak hanya melihat jaminan barang yang bisa diagunkan saja, tapi juga lifestyle seseorang, karena banyak kredit disalahgunakan akibat harus memenuhi gaya hidup tanpa melihat kemampuan yang ada. Bahkan pengusaha yang sudah menggurita bisnisnyapun masih terperangkap gaya hidup konsumtif sehingga mengakibatkan kebangkrutan usahanya karena terlalu ekspansif 'mengkonsumsi' lahan orang lain, seperti terjadi baru-baru ini pada sebuah koperasi usaha jasa transportasi terkenal di negeri ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun