Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[FITO] Kapal Terakhir

25 Agustus 2016   22:17 Diperbarui: 25 Agustus 2016   22:33 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto by Imas (dokumentasi FITO)

Waktu menunjukkan pukul sebelas lewat tiga puluh menit malam hari, masih ada waktu tersisa tiga puluh menit sebelum kapal terakhir meninggalkan dermaga. Langkah kaki kupercepat agar tiba tepat sebelum kapal membuang sauhnya menuju samudera penantian yang tak kunjung tiba. Namun ada saja aral melintang, menghalangi laju ojek yang mengantarku ke pelabuhan.

Jalan mendadak licin kala hujan deras mengguyur kota dengan tiba-tiba diiringi sambaran kilat menari-nari menggetarkan denyut nadiku. Motor tak bisa melaju kencang, sementara waktu semakin menipis dan tak ada lagi tempat untuk berteduh. Baju basah kuyup menembus kulit tubuh yang mulai menggigil akibat dinginnya malam. Beberapa kali motor nyaris tergelincir kala melintasi tikungan tajam yang siap memangsa kelengahan pengendara.

Hujan mulai mereda, namun tak kuasa melampaui pohon tumbang melintang di tengah jalan. Motor kutinggalkan dan aku segera berlari menuju dermaga dengan nafas yang masih tersisa. Langkahku mulai gontai dan tenggorokan mulai kering kerontang kala gerbang pelabuhan tampak di hadapan. Dengan sisa tenaga kupaksakan diri untuk tetap berlari menuju dermaga penantian. Aku berusaha menggapai bibir kapal, saat sauh mulai diangkat dan kapal perlahan menjauh. Sia-sia tampaknya karena jembatan penghubung mulai terangkat, tanda kapal terakhir telah pergi selamanya. Lemas rasanya seluruh tubuh ini memandang kapal sayup-sayup mulai tenggelam di balik cakrawala.

Akupun hanya bisa duduk di sebuah kedai terakhir yang masih buka. Sang pemilik seperti sedang mengamatiku, dan menunjukkan sebuah foto yang ternyata aku. "Tadi ada yang titip pesan kalau ada orang mirip dengan wajah di foto ini, tolong serahkan," tukas pemilik kedai padaku. Kubalik foto itu, ternyata ada pesan di belakangnya.

"Maafkan aku bila selama ini selalu membisu. Aku sebenarnya malu mengatakannya, namun tak tega melihatmu selalu berusaha menghubungiku walau tak kuangkat telpon atau kubalas pesanmu. Aku malu tak bisa penuhi janjiku padamu, jadi biarlah aku berlayar dengan kapal terakhir, tak perlu kau susah payah mengejar mimpi kita." Bleekkk!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun