Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hujan, Dirindukan Sekaligus Ditakutkan

5 Januari 2021   22:57 Diperbarui: 5 Januari 2021   23:01 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak kecil dulu, hujan selalu dirindukan apalagi saat musim panas tiba. Kehadiran hujan mampu menyejukkan tubuh yang panas akibat pantulan sinar matahari yang menyengat di daerah tropis seperti di negeri ini. Setiap turun hujan selalu terucap rasa syukur karena air tanah akan segera terisi penuh dan kebutuhan air yang sulit di musim panas menjadi mudah diperoleh. Tidur menjadi lebih nyenyak karena terbuai suhu udara yang dingin akibat hujan apalagi bila disertai angin kencang.

Sewaktu kecil saya sering hujan-hujanan bermain bersama teman-teman di kampung. Bahagia rasanya bermain bola atau petak umpet saat hujan deras melanda. Saat beranjak dewasa, mulai dari sekolah hingga bekerja, hujan sering menemani perjalanan menuju sekolah dan kantor. Kadang bila deras menepi sejenak sambil menyeruput kopi panas menanti hujan reda. Ah betapa nikmatnya hidup ini bila hujan tiba.

Namun semua itu sirna tepat saat tahun baru 2020 kala hujan deras tak henti-hentinya sejak sore hari hingga pergantian tahun bahkan sampai esok paginya menerpa ibukota dan sekitarnya. Bencana banjirpun tak terelakkan menyerbu rumah kami yang selama ini tak pernah tergenang air akibat hujan deras. Kebahagiaan kala menanti hujan berubah menjadi horor yang menakutkan dan menumbuhkan trauma mendalam karena rendaman banjir yang cukup lama dan dalam menghempaskan lemari pendingin serta benda-benda lain yang tak sempat diselamatkan.

Sejak saat itu, setiap hujan tidur tak lagi tenang, apalagi bila hujan deras lebih dari tiga jam. Dua bulan setelah itu, rumah kami lagi-lagi nyaris kebanjiran dan tinggal sedikit lagi masuk ke teras rumah setelah menggenangi halaman. Tiga bulan lalu, dalam rentang tiga minggu tiga kali hujan deras nyaris menggenangi rumah kami lagi. Mobil yang berada pada posisi rendah terpaksa dipindahkan ke tepi jalan raya agar tidak tergenang.

Memang sejak pembangunan rumah mulai masif di lingkungan sekitar rumah, embung tempat penampungan air semakin menyusut bahkan hilang diokupasi oleh pemilik tanah untuk dijadikan rumah. Akibatnya air yang biasanya parkir di embung tersebut saat hujan deras menjadi melimpas melalui jalan di depan rumah tanpa terkendali. Airpun kadang menggenangi jalan tersebut bila saluran induk di tepi jalan raya sudah tidak sanggup lagi menampung air dari tiap-tiap gang, bahkan sebaliknya air dari saluran malah melimpas ke jalan depan rumah.

Saya selalu was-was bila hujan tiba apalagi tiba-tiba deras dan berlangsung lebih dari dua jam. Setiap sepuluh menit saya selalu melongok ke halaman, apakah air masih lancar mengalir ke saluran induk di tepi jalan raya atau sudah mulai menggenangi jalan di depan rumah. Bila halaman sudah mulai tergenang, segera barang-barang mulai dicicil untuk diungsikan ke atas rumah, mengantisipasi kejadian banjir di awal tahun lalu. Mobil kadang dititipkan ke tetangga bila saya pergi ke luar kota agar tidak terendam bila terjadi hujan lebat.

Sekarang semua barang yang mudah rusak seperti buku, barang elektronik termasuk komputer dan peralatan lainnya kecuali kulkas dan mesin cuci, dipindah ke lantai dua untuk menghindari terendam air bila terjadi banjir kembali. Hanya pakaian saja dan barang-barang yang mudah mengambang atau berat yang dibiarkan berada di bawah. Di lantai atas juga tersedia ruangan berikut kasur yang bisa digunakan untuk mengungsi dan kamar mandi agar tetap bisa berakitivitas walau sedang kebanjiran.

Kami hanya bisa berdoa kala hujan mulai turun, agar tidak terlalu deras dan kalaupun deras tidak terlalu lama durasinya. Alhamdulillah walau telah memasuki musim hujan, air kembali mengalir lancar ke saluran induk dan tidak menggenangi jalan di depan rumah lagi. Curah hujannya terhitung normal, lebih banyak hujan gerimis daripada lebat yang mengguyur bumi tempat dipijak ini. Sebelum mampu membeli rumah baru di daerah bebas banjir, yang bisa kami lakukan hanyalah menempatkan barang-barang yang rentan di lantai dua serta selalu berdoa ketika hujan tiba.

Kita tidak bisa hanya meratapi nasib terus menerus, tapi harus berupaya minimal untuk mengurangi kerugian bila terjadi banjir kembali di kemudian hari. Namun kami tetap berharap agar kejadian banjir tahun lalu itulah yang terakhir, dan tahun-tahun berikutnya limpahan air hujan dapat terserap ke dalam tanah atau melimpas ke saluran induk untuk dialirkan menuju ke laut.

Hujan tidak bisa dihindari sehingga diperlukan drainase dengan volume besar untuk menampung limpahan air hujan yang sudah tidak dapat ditampung dalam embung yang diurug dan jadi rumah. Oleh karena itu pemerintah harus sigap merencanakan dan menyiapkan kanal-kanal banjir agar tidak mengubah jalan raya dan perkampungan sebagai tempat penampungan air hujan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun