Veni, Vidi, Vici, itulah semboyan yang layak disematkan pada Hansi Flick setelah berhasil memboyong gelar juara Liga Champions sekaligus menuntaskan treble winner bersama dengan trofi juara Bundesliga dan DFB Pokal tahun ini. Flick datang ke Bayern sebagai asisten Niko Kovac awal musim 2019 setelah membantu Joachim Low sebagai asisten pelatih timnas Jerman selama 8 tahun hingga 2014 dan menjadi salah satu direktur DFB hingga Januari 2017.Â
Tak sampai empat bulan bertugas sebagai asisten, Flick menggantikan posisi Kovac yang dipecat setelah kekalahan memalukan dari klub semenjana Eintrach Frankfurt 1-5 yang membuat posisi Bayern terdepak ke peringkat empat klasemen sementara Bundesliga. Awalnya manajemen Bayern sempat berpikir untuk mencari pengganti Kovac, salah satunya Wenger yang menjadi kandidat kuat menduduki kursi panas tersebut. Namun karena tidak ada kata sepakat membuat Flick tetap meneruskan tugasnya hingga akhir musim ini.
Awal berkarir sebagai manajer Bayern, Flick langsung tancap gas dengan melibas empat klub sekaligus, dua di liga termasuk menghajar musuh bebuyutan Borussia Dortmund dengan skor telak 4-0 serta Fortuna Dusseldorf dengan skor sama, dan dua di liga Champion dengan menekuk Olympiakos 2-0 dan membantai juara tahun 1991 Red Star Belgrade 6-0. Namun di awal Desember performa Bayern kembali meredup dengan dua kekalahan beruntun dari Leverkusen dan Moenchengladbach dengan skor sama 2-1.
Setelah itu barulah Bayern benar-benar bangkit dan membukukan 99% kemenangan hingga meraih gelar Liga Champions hari Minggu kemarin dengan hanya sekali bermain seri 0-0 dengan Leipzig. Wabah virus corona yang melanda seluruh dunia sempat membuat Liga Jerman dan Liga Champion berhenti sejenak. Namun keberanian DFB menjadi pembuka liga pertama di Eropa pasca pandemi membuat liga-liga negara lain termasuk Liga Champion kembali meneruskan pertandingan yang masih tersisa.
Keberhasilan Hansi Flick meraih treble winner dalam waktu singkat mengingatkan saya pada sosok Roberto di Matteo yang bernasib hampir mirip. Datang sebagai asisten Andres Villas-Boas di Chelsea pada akhir Juni 2011, tak sampai setahun di Matteo didapuk menggantikannya pada bulan Maret 2012 setelah gagal mengangkat tim penuh bintang tersebut ke posisi puncak Liga Inggris dan hanya duduk di posisi kelima. Padahal Villas-Boas baru saja menduduki kursi tersebut berbarengan dengan di Matteo menggantikan posisi Carlo Ancelotti yang 'hanya' membawa Chelsea ke peringkat dua Liga Inggris.
Kehadiran di Matteo memang tak mampu menolong Chelsea naik karena sudah tertinggal jauh dari peringkat pertama Manchester City, bahkan turun ke peringkat 6 di akhir liga. Namun kegagalan tersebut dibayar lunas dengan double winner juara Liga Champions musim 2011-2012 yang uniknya mengalahkan Bayern Muenchen lewat adu penalti setelah skor sama kuat 1-1 hingga akhir perpanjangan waktu, dan gelar piala FA mengalahkan Liverpool 2-1 di stadion Wembley. Keberhasilan tersebut membuat posisi di Matteo dikontrak secara permanen oleh Chelsea selama dua tahun ke depan.
Belum lagi kontrak genap berjalan enam bulan, di Matteo dipecat setelah gagal mempertahankan gelar Liga Champions karena hanya berada di posisi ketiga fase grup di bawah Juventus dan Shaktar Donetsk. Di kompetisi liga Chelsea juga mengalami serangkaian hasil buruk sejak kalah dari juara bertahan City 2-3 di kandang sendiri, diikuti hasil seri dengan Swansea dan Liverpool dengan skor 1-1, dan ditutup dengan kekalahan 2-1 dari WBA sebelum kalah telak 0-3 dari Juventus di Liga Champions.Â
Padahal di awal musim Chelsea sempat tampil perkasa dengan meraih 7 kali kemenangan dan sekali seri sebelum kalah dari City. Kekalahan di kandang sendiri itulah membuat moral pemain Chelsea merosot dan berujung pada pemecatan di Matteo. Rafael Benitez akhirnya ditunjuk manajemen Chelsea untuk mengambil alih posisi di Matteo dan membawa Chelsea ke peringkat tiga Liga Inggris serta mempersembahkan gelar Liga Eropa setelah mengalahkan Benfica 2-1 di Amsterdam Arena.Â
Setelah hengkang dari Chelsea, di Matteo sempat menganggur selama setahun sebelum mengadu nasib di Liga Jerman menukangi Schalke 04. Namun di sini di Matteo hanya betah selama setahun saja dan mengundurkan diri setelah membawa Schalke 04 ke peringkat enam liga dan lolos ke Liga Eropa musim berikutnya. Tahun berikutnya di Matteo mencoba peruntungan melatih Aston Villa yang baru saja turun divisi, tetapi lagi-lagi hanya berumur tiga bulan akibat serangkaian kekalahan dengan puncaknya kalah 2-0 dari Preston North End sebagai pertandingan terakhirnya. Hingga saat ini di Matteo masih menganggur dan sedang mencari klub yang hendak dilatihnya.
Lalu, akankah nasib Roberto di Matteo berulang pada sosok Hansi Flick? Bisa jadi ya, bisa juga tidak. Atmosfer liga Jerman sangat berbeda dengan liga Inggris. Liga Inggris jauh lebih kompetitif dan persaingan sengit terjadi antar enam klub teratas hingga menit-menit akhir, kecuali musim kemarin yang benar-benar didominasi oleh Liverpool. Hal ini berbeda dengan Liga Jerman yang 'hanya' dikuasai oleh Bayern Munich, kadang-kadang diselingi oleh Dortmund dan Gladbach di masa lalu, sesekali ada Werder Bremen, Stuttgart, dan Wolfsburg yang berhasil 'mencuri start' meraih gelar Bundesliga.
Hanya Flick perlu mewaspadai tiga bulan pertama Bundesliga dan fase grup Liga Champions agar tidak mengulangi nasib seperti pendahulunya Niko Kovac yang terpeleset di beberapa pertandingan awal. Serangkaian kemenangan di awal musim akan meningkatkan kepercayaan pemilik klub yang tak pernah bosan mengangkat trofi Bundesliga setelah 8 kali berturut-turut sejak musim 2012-2013 dan masih memegang rekor 29 kali juara. Flick juga bukan pelatih tenar dan belum pernah memegang klub sebesar Bayern sebelumnya sehingga posisinya masih rentan pemecatan. So, kita tunggu nasibnya hingga akhir tahun ini.