Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Tanpa Exit Strategy, Pandemi Takkan Pernah Usai

1 Juli 2020   16:28 Diperbarui: 2 Juli 2020   07:53 865
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jubir Gugas Covid-19 (Sumber: BNPB.go.id)

Kemarahan presiden Jokowi yang diekspose ke luar sepertinya menyiratkan kerja pemerintahannya yang tak responsif menghadapi krisis multidimensi sekarang ini. Betapa tidak, penanganan masalah krisis dikerjakan seolah masih dalam kondisi normal. 

Tidak ada langkah-langkah terobosan untuk mengakhiri krisis, malah terkesan bekerja seperti business as usual saja. Bahkan beliau sempat mengacam akan melakukan reshuffle atau membubarkan lembaga yang tidak becus dalam bekerja.

Dalam pandangan saya, salah satu lembaga yang patut dievaluasi keberadaannya adalah Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.

Lembaga ini tampak hanya sekedar menampilkan angka-angka positif, kematian, dan kesembuhan covid-19 saja, ditambah sedikit informasi yang diulang-ulang terus menerus, seperti pakai masker, jaga jarak, malah cenderung justru menakut-nakuti seperti salon, pasar, dan lokasi yang rawan penularan lainnya.

Tak ada informasi terbaru yang bernada positif atau membangun, hanya penambahan jubir yang cantik dan seksi saja sekedar untuk membungkus penampilan.

Tak ada strategi baru dalam penanganan covid-19, hanya memperbanyak tes massal saja tanpa memilah mana yang benar-benar sakit atau sekedar terpapar. 

Kebijakan yang dibuat justru malah menghambat pergerakan ekonomi, seperti kewajiban rapid tes buat orang yang bepergian dan masuk kerja, penutupan pasar gara-gara ada beberapa orang terpapar covid-19. 

Justru malah Polri yang berani membuat terobosan mencabut maklumat terkait larangan dan pembubaran kerumunan massa, diganti pendisiplinan masyarakat memasuki era new normal untuk tetap mematuhi protokol kesehatan.

Coba dipikir secara logika, untuk apa surat-surat keterangan tersebut kalau niatnya untuk mencegah penularan. Bisa saja setelah dapat surat di tengah jalan terpapar, siapa yang tahu. 

Padahal sudah jelas virusnya menyebar lewat droplet, dan cara menghindarinya adalah dengan memakai masker, kalau perlu ditambah face shield, mencuci tangan, dan menjaga jarak, itu cukup. Akhirnya wajar kalau masyarakat jadi berburuk sangka, ada udang di balik batu segala macam tes-tesan tersebut.

Tes massal seharusnya dilakukan di awal wabah untuk melokalisir siapa saja yang tertular dan langsung di karantina. Setelah virus menyebar luas tentu hanya akan membuang-buang anggaran saja. 

Bayangkan biaya rapid tes per orang paling murah katakanlah 200 Ribu Rupiah dikali seribu warga, lalu ada yang positif 10 orang dan tiap orang harus di swab tes dengan biaya termurah dua juta Rupiah, itupun harus dua kali swab, belum lagi biaya karantina yang kadang dipaksakan padahal yang bersangkutan sehat.

Sudah banyak kejadian tes massal tidak tepat sasaran, seperti pernah ditulis seorang rekan Kompasiana di Jambi, belum lagi di daerah-daerah lain. Mereka yang sehat dipaksa untuk dikarantina sehingga ada yang di-PHK atau tidak berdagang. 

Akhirnya terjadi efek domino karena yang ditinggalkan tidak ada pemasukan, sementara pemerintah tidak menanggung beban orang yang ditinggalkan akibat karantina. Setelah mereka pulangpun dikucilkan warga karena dianggap membahayakan, padahal sudah jelas hasil tesnya negatif.

Sekarang banyak kasus orang meninggal atau tidak tertolong gara-gara harus di rapid tes atau swab tes dulu sebelum di diagnosa.

Padahal ada beberapa penyakit yang butuh penanganan cepat seperti jantung, ibu hamil mau melahirkan, cuci darah, kecelakaan lalin, tak mungkin menunggu hasil tes yang paling cepat untuk rapid 3-4 jam, sementara untuk swab bisa 1-2 hari. Tidak ada terobosan dari faskes untuk mendeteksi singkat pasien yang datang.

Pandemi sudah empat bulan berlalu, dan bisa dilihat angka-angka kematiannya jauh dari prediksi awal para ahli, dan di sisi lain tingkat kesembuhannya semakin tinggi walau belum ada obat apalagi vaksinnya. 

Lagipula bila dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia, mengutip Ratna Megawangi dalam tulisannya berjudul Korona dan Statistik Kepanikan di harian Kompas tanggal 20 Juni 2020, tidak sebanding dengan dampak ekonomi dan sosial yang ditimbulkannya.

Bandingkan juga dengan penyakit berbahaya lain dan tingkat kematian tahun-tahun sebelumnya, apakah terjadi lonjakan tinggi atau masih cenderung stabil.

Lihatlah kondisi lapangan di sekitar kita sekarang. Masyarakat sudah banyak beraktivitas seperti biasa, namun tidak ada tanda-tanda munculnya klaster baru yang jumlahnya besar. 

Masih ingat kejadian McD Sarinah, lalu ngabuburit saat belanja lebaran, setelah lewat 14 hari toh tidak terjadi lonjakan besar kasus. 

alaupun jumlahnya besar itu lebih karena banyaknya tes massal yang dilakukan dan banyak orang yang sehat ikut dites sehingga hasilnya yang sembuhpun meningkat pesat.

Sekarang bagaimana ekonomi mau tumbuh, kalau pergerakan orang dibatasi dengan surat-surat keterangan yang tidak jelas itu. Masak mau berwisata saja kudu menunjukkan surat sehat dan hasil rapid tes. Pengemudi truk logistik harus di rapid tes, mau terbang atau naik kereta api harus rapid tes.

Bagaimana maskapai penerbangan bisa bertahan kalau penumpang sepi, atau harga bahan pokok jadi mahal karena supir truk logistik mogok, hotel-hotel dan tempat wisata semakin sepi karena pengunjung malas rapid tes. Ingat dong efek dominonya, jangan cuma mengejar target tes massal saja.

Wajar kalau presiden marah besar karena niatnya untuk menumbuhkan kembali ekonomi dihambat oleh urusan-urusan birokratis semacam itu.

Penanganan wabah masih dilakukan secara birokratis, penuh dengan surat menyurat, tidak ada terobosan baru yang lebih cepat untuk memulihkan kembali kegiatan ekonomi sekaligus meminimalisir dampak kesehatannya. Masyarakat juga sudah bosan diteror terus-menerus oleh pemberitaan yang cenderung menakutkan ketimbang mencerahkan.

Sudah seharusnya tim gugus tugas mengubah strategi, pertama memfokuskan tes pada yang benar-benar sakit dan melakukan karantina secepatnya. Kedua mencabut kewajiban surat-menyurat yang tidak perlu itu dan diganti dengan pengawasan terhadap protokol kesehatan. 

Ketiga perbanyak produksi face shield dan masker untuk dibagikan pada para penumpang, supir truk, atau pekerja daripada uangnya hanya dibuang-buang untuk tes yang hasilnya juga kadang tidak akurat.

Keempat yang terpenting adalah pengawasan aparat di lapangan terhadap kedisiplinan masyarakat menghadapi new normal. Jangan sampai surat menyurat masih dipakai karena ketidakmampuan mengawasi masyarakat di lapangan.

Tanpa adanya exit strategi atau terobosan baru, jangan harap pandemi akan segera berakhir. Malah bisa jadi negara akan bangkrut karena habis anggarannya hanya untuk pengadaan rapid tes dan swab tes serta karantina orang-orang yang sehat. 

Hutang negara sudah terlalu besar hanya untuk mengurus penyakit yang tak sebanding dengan kerusakan ekonomi dan sosial, sementara penyakit lain yang lebih berbahaya seperti DBD dan TBC malah jadi terabaikan. Lebih baik hentikan saja pengumuman angka-angka yang hanya memperburuk keadaan tanpa adanya penjelasan makna dari angka-angka tersebut. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun