Mendengar pidato Mas menteri kemarin saat memutuskan tahun ajaran baru, rasanya hidup di Indonesia sangat ideal. Sekolah atau kuliah tak harus tatap muka, tapi bisa dilakukan secara online. Semua bahan ajar ada di internet, tinggal diunduh saja. Guru atau dosen bisa menggunakan aplikasi, entah Zoom, Goolge Room, atau WA dan sejenisnya untuk mengajar. Muridpun bisa mengerjakan soal ujian lewat ponsel atau komputer di rumah, bisa nyontek pula tanpa ketahuan.
Semua tampak mudah dilakukan dengan dukungan teknologi informasi berkat revolusi industri versi 4.0. Jaringan internet tersedia dimana-mana, server tanpa batas bisa unggah dan unduh sepuasnya. Maklum dulu kan Mas menteri sekolah di Amerika, jadi dipikir Indonesia ini sudah setara dengan mereka, tak perlu cemas dengan melimpahnya koneksi internet yang sudah menyebar kemana-mana hingga ke pelosok negeri. Buat Mas menteri belajar daring tentu sudah biasa dilakukannya saat kuliah dulu, jadi mestinya bisa dong dilakukan juga di sini.
Ngomong-ngomong Mas menteri, sudah sempat menonton aksi Veveonah di kanal yutubnya belum? Kalau belum, monggo ditonton dulu ya Mas. LInknya saya insert di bawah ini ya.Â
Lihatlah perjuangannya untuk berburu sinyal hingga menginap di atas pohon saking susahnya mendapatkan sinyal di dalam rumahnya. Dia adalah seorang mahasiswi universitas ternama yang terpaksa pulang kampung karena kampusnya ikut libur gara-gara terdampak wabah virus corona. Awalnya dia pikir cuma sebentar, jadi buku-buku kuliahnya dibiarkan ditinggal di kamar kosnya, sementara dia pulang hanya berbekal diri dan hapenya saja. Di rumahnya sendiri tak ada listrik dan air sehingga dia harus menumpang nge-cas hape di rumah tetangganya (1).
Tetapi hingga menjelang ujian tiba, tak ada tanda-tanda bakal kembali ke kampus. Diapun mulai kelimpungan karena di kampungnya tidak ada sinyal internet yang bagus. Sinyalnya kerap numpang lewat, jadi informasi melalui SMS atau WA pun sering terlambat masuk. Kalau cuma untuk mendengarkan kuliah mungkin tidak masalah, bisa diunduh belakangan atau pinjam catatan temannya. Nah kalau ujian kan ga mungkin ada siaran tunda. Kalau tidak ikut ujian, bisa dipastikan dia bakal mengulang kuliah tahun berikutnya alias kudu buang duit lagi.
Akhirnya dengan terpaksa diapun pergi ke sebuah bukit yang agak jauh dari rumahnya untuk mencari sinyal yang kuat agar bisa mengerjakan soal ujian dengan tenang tanpa was-was putus koneksi. Setelah ketemu sebuah pohon yang cukup rindang, diapun membuat rumah dari jaring untuk tempatnya tinggal selama ujian. Tak lupa dia juga membawa bekal berupa nasi bungkus daun pepaya dan air mineral serta powerbank untuk mengisi baterai hape bila sudah habis.
Dalam rumah jaring itulah dia mengerjakan soal-soal ujian yang dimulai pagi hari dan baru berakhir sore harinya dengan menggunakan hape. Karena tanggung keburu gelap dan tak ada cahaya dalam perjalanan kembali ke rumahnya, diapun menginap di rumah jaring tersebut, ditemani nyamuk-nyamuk yang silih berganti keluar masuk. Â Sementara itu seekor laba-laba sempat mengganggu saat dia sedang istirahat makan siang di antara dua ujian di pagi dan sore hari.
Untunglah Veveonah itu warga negara tetangga yang kuliah di Universiti Malaysia Sabah. Begitu mendengar videonya viral, pemerintah setempat melalui Suruhanjaya Komunikasi dan Multimedia (SKMM) langsung merespon untuk membangun tower dan meningkatkan kualitas jaringan di Kampung Bilangau Kecil yang terletak di sebelah Kampung Sapatalang, Pitas, Sabah tempat Veveonah tinggal (2). Diharapkan tower tersebut selesai dibangun tahun depan dan dapat digunakan untuk melayani koneksi internet warga tempatan yang selama ini hanya memperoleh sinyal 3G dengan kondisi megap-megap pula.
Kalau jadi warga negara kita mungkin dia sudah di-bully oleh warganet yang maha benar. Dia pasti bakal dibilang pansos, numpang viral, pengen tenar, atau apalah ribuan jenis bullyan dan makian tak jelas. Tentu di seberang juga pasti ada makhluk netizen yang akan berlaku sebaliknya, mendukung dia sembari memaki pemerintah yang tidak siap menyediakan jaringan internet hingga ke pelosok tanah air dan kurangnya koordinasi antar kementerian dalam menyiapkan perkuliahan daring. Dipastikan videonya bakal memancing gelud sesama warganet di dunia maya, lalu diundang DD di-podcastnya untuk klarifikasi seperti nasib artis yutub yang lain.
Lalu bagaimana kondisi di negara kita? Tanyalah pada mahasiswa yang pulang kampung, Mas menteri. Mereka mungkin juga punya keluhan yang sama, tapi boro-boro mau bikin video, lah wong hape saja pinjam temannya. Boro-boro mau koneksi internet, sinyalnya saja susah, malah banyak kampung yang belum ada listriknya. Kalaupun ada sinyal, tak ada uang buat beli kuota apalagi kalau harus video call yang menggerus kuota. Sementara biaya kuliah tidak kunjung turun, padahal uangnya bisa dipakai buat beli kuota sebagai pengganti tatap muka. Jangan salahkan kalau ke depan kualitas lulusan perguruan tinggi semakin menurun, kalau kuliahnya saja hanya mengandalkan koneksi internet yang belum merata ke seluruh tanah air.
Sumber: