"Fa innama 'al usri yusro, inna ma 'al usri yusro, faidza farakhta fansob, wa ila robbika farghab" suara imam masjid terapung memimpin sholat tarawih terngiang di telinga saya. "Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, di balik kesulitan pasti ada kemudahan, maka apabila selesai satu urusan, kembalilah bekerja dan hanya pada Tuhanmulah kamu berharap,"
Sebuah ayat suci yang pas dengan kondisi sekarang yang sedang mengalami wabah covid19 ini. Percayalah bahwa setelah masa-masa sulit sekarang ini akan  datang kemudahan, sampai dua kali ditegaskan dalam Al Quran. Apabila wabah selesai, kembalilah bekerja seperti biasa dan hanya pada Tuhanlah kita berharap.Â
Tak terasa, shalat witir selesai dan sayapun keluar masjid melintasi jembatan terapung kembali ke hotel. Sampai di hotel langsung tidur pulas hingga bunyi bedug sahur membangunkanku ........... di kamar tidur rumah nun jauh dari masjid terapung Palu sana. Rupanya saya sedang bermimpi shalat tarawih, membangkitkan kenangan manis saat mampir sholat di masjid tersebut 8 tahun lalu.
* * * *
Jauh sebelum tsunami menerpa Palu, saya beruntung dua kali mengunjungi masjid tersebut bulan Juni 2012 dan Desember 2013. Kunjungan pertama kali kebetulan pas bulan Ramadhan, sayangnya saya tidak sempat ikut tarawih karena letaknya agak jauh dari hotel dan malam itu sepi. Akhirnya saya hanya tarawih di masjid dekat hotel saja karena waktu itu belum ada ojol yang bisa mengantar dengan mudah seperti sekarang.
Usianya masih tergolong baru 8 tahun lebih ketika diresmikan oleh Gubernur Sulteng Longky Djanggola bulan Januari 2012 dan dinamai Masjid Arkam Babu Rahman atau lebih dikenal sebagai masjid terapung. Masjid ini dibangun oleh seorang pengusaha SPBU bernama Muhammad Hasan Bajamal yang lokasinya juga tak jauh dari masjid tersebut untuk mengenang Datuk Karama, seorang ulama asal Minang yang diyakini sebagai salah satu penyebar ajaran Islam di Palu.Â
Letaknya cukup strategis berada tepat di Teluk Palu serta dekat dengan Pantai Taman Ria dan lokalisasi Pantai Talise yang konon sering digunakan juga sebagai tempat maksiat. Oleh karena itu keberadaan masjid tersebut dimaksudkan agar stigma tersebut berangsur hilang dan nuansa religius terasa di tempat wisata tersebut. Lokasinya agak sepi dan masih jarang bangunan saat saya berkunjung ke sana, hanya ada SPBU dan beberapa warung saja di sekitarnya.
Masjidnya sendiri tidak terlalu luas, hanya sekitar 121 meter persegi dengan daya tampung sekitar 200 jamaah. Namun bila waktu sholat tiba cukup ramai pengunjung untuk sholat berjamaah. Walaupun kota Palu termasuk panas, di dalam masjid itu sendiri hawanya cukup sejuk disemai angin laut yang bertiup di Teluk Palu tanpa harus ditambah pendingin udara.
Dari tepi jalan dan parkiran terdapat jembatan penghubung sepanjang sekitar 30 meter menuju masjid yang didirikan di atas permukaan laut dan disangga oleh pilar dengan kedalaman 10 meter tersebut. Kita bisa melihat pemandangan Teluk Palu yang indah dari berbagai sisi masjid ini sambil menikmati angin sepoi-sepoi.
Masjid ini termasuk istimewa karena letaknya di atas laut tepat di bagian paling selatan Teluk Palu sehingga tampak berdiri sendiri di antara luasnya laut. Di seberangnya terdapat jalan lingkar luar kota Palu yang terhubung dengan Jembatan Kuning, nama lain dari jembatan Ponulele atau Palu IV, yang menghubungkan kota Palu dengan Donggala dan Provinsi Sulawesi Barat. Masjid ini juga menjadi salah satu ikon wisata kota Palu dan wajib hukumnya bagi wisatawan Muslim untuk menyempatkan diri mampir sebelum tsunami meluluhlantakkan kota Palu.Â