Untunglah hujan sedikit mereda tidak lagi deras seperti sebelumnya. Permukaan air kembali turun di bawah teras dan tetap stabil hingga hujan benar-benar berhenti pukul 9 pagi. Perlahan muka air mulai turun dan baru benar-benar surut sekitar pukul 4 sore.Â
Alhamdulillah Tuhan masih melindungi rumah kami hingga air tidak sampai masuk ke rumah. Namun persoalannya bukanlah hujan atau banjir semata, tetapi sulitnya menghilangkan trauma akibat banjir.
Kejadian kedua dalam dua bulan terakhir membuat saya benar-benar tak lagi dapat tidur nyenyak di malam hari, apalagi bila mendengar suara hujan. Kalau dulu saya bisa menikmati derasnya hujan sambil kemulan di kasur, sekarang justru harus siaga untuk mengantisipasi masuknya air ke dalam rumah.Â
Repotnya dalam dua peristiwa tersebut hujan selalu turun di malam hingga dini hari sehingga membuat waktu tidur menjadi terbatas. Apalagi pada hari Rabu dini hari hujan deras kembali melanda membuat trauma tersebut muncul kembali.
Hujan adalah berkah, namun banjir adalah musibah. Perubahan tata ruang yang turut mengurug situ-situ dan embung air membuat banjir dengan mudah terjadi di mana-mana.Â
Situ-situ dan embung yang seharusnya tetap dipelihara untuk menampung air saat kelebihan volume akibat hujan atau limpasan sungai berubah menjadi permukiman. Akibatnya wajar kalau akhir-akhir ini sering terjadi banjir, karena sudah tidak ada lagi ruang trnasit bagi air yang datang dari langit.
Pemerintah pusat dan daerah hanya bisa saling menyalahkan dengan wacana normalisasi vs naturalisasi tanpa ada tindakan kongkrit.
Apalagi anggaran semakin telat cair akibat lamanya proses restrukturisasi instansi pemerintah sehingga beberapa kegiatan terpaksa ditunda menunggu struktur birokrasi yang baru. Padahal banjir membutuhkan penanganan yang cepat, bukan memperbanyak debat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H