Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perlukah Karantina Bagi Eks-Kombatan ISIS?

7 Februari 2020   22:02 Diperbarui: 7 Februari 2020   22:14 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Wacana pengembalian eks-kombatan ISIS kembali mengemuka setelah melihat kenyataan banyaknya WNI yang bergabung dengan ISIS dan ingin kembali setelah ISIS benar-benar remuk redam. Mereka seperti kebingungan hendak berlabuh kemana karena sudah terlanjur membakar paspor dan melepas kewarganegaraan Indonesianya. Mau kembali malu rasanya, tapi mau bertahan juga kehidupan semakin sulit di negeri orang.

Pemerintah sendiri tampak galau dengan ulah para WNI eks-kombatan ISIS tersebut. Mau diterima mereka sudah bukan lagi WNI, tapi mau ditolak mereka berasal dari RI yang tak lain tak bukan adalah saudara setanah air sendiri. Pro-kontrapun merebak di kalangan pejabat dan masyarakat walau sebagian besar menolak dengan alasan akan menularkan virus ISIS kepada warga lokal, serta adanya ketakutan akan pemindahan pusat kegiatan ISIS ke Asia Tenggara setelah kekalahan telak di Timur Tengah.

Sementara mereka yang setuju sebagian besar lebih karena alasan kemanusiaan. Biar bagaimanapun mereka juga manusia yang punya hak hidup dan tak bisa diabaikan begitu saja walaupun telah melakukan berbagai kejahatan selama menjadi anggota ISIS. Toh tak semua dari mereka benar-benar menjadi tentara ISIS yang terkenal kekejamannya, sebagian pasti ada yang karena terpaksa atau mengikuti keluarga yang boyongan pindah ke ISIS. Jadi perlu disaring dulu mana yang benar-benar fanatik ISIS mana yang cuma sekedar ikut-ikutan.

Memang persoalannya tidak semudah menangani para WNI yang berada di wilayah endemik virus corona karena menyangkut ideologi. Penanganan para WNI yang berasal dari Tiongkok yang sedang wabah corona relatif lebih mudah karena cukup dengan mengkarantina mereka untuk memastikan seandainya ada virus yang terbawa akan mati dengan sendirinya setelah melewati masa inkubasi antara 7-14 hari. Berbeda bila seseorang sudah tertular virus ideologi, butuh waktu yang lama untuk mengembalikan kesadaran mereka sebagai warga biasa, bukan ilusi untuk mendirikan sebuah negeri adil makmur berdasarkan ajaran agama tertentu.

Jalan tengahnya mungkin perlu ada semacam karantina atau semacam kamp konsentrasi di sebuah pulau terpencil dan tak berpenghuni untuk menampung mereka hingga pulih kesadarannya. Karantina tersebut diperlukan untuk menjalankan program deradikalisasi agar mereka kembali hidup normal. Selain itu mereka juga perlu dibekali pengetahuan dan keterampilan untuk menjalankan usaha yang produktif ketika kembali ke masyarakat karena pasti sulit untuk mencari pekerjaan baru.

Agar tidak membebani pemerintah, mereka harus menjalani program semi kerja paksa untuk menghasilkan produk yang bernilai jual seperti bertani, membuat kerajinan tangan, membuat suku cadang, dan barang-barang lainnya. Hal ini untuk membiasakan mereka produktif serta melupakan mimpi-mimpi besar yang ingin digapai ketika bergabung dengan ISIS. Dengan waktu kerja dari pagi hingga petang, mereka akan terlalu lelah untuk berpikir macam-macam.

Mereka tidak boleh keluar kamp konsentrasi sampai benar-benar dinyatakan bebas dari pemikiran atau ideologi di luar Pancasila. Pengawasan harus ketat seperti di Nusa Kambangan atau LP Gunung Sindur dan tidak boleh ditengok siapapun termasuk keluarganya sendiri. Jadi benar-benar harus steril dari interaksi dengan dunia luar, bahkan bila perlu tidak boleh menggunakan internet dan telepon genggam. Mereka hanya bisa mendengarkan radio atau menonton televisi yang sudah ditentukan salurannya oleh pemerintah melalui penjaga kamp.

Jadi daripada mereka dibiarkan berkelana tidak jelas di luar negeri apalagi sampai ditawan negara lain tanpa kepastian jelas, lebih baik ditawan di negeri sendiri dan dibina kembali. Lebih baik mati di negeri sendiri daripada hilang tak jelas rimbanya di negeri orang. Kalau memang benar-benar terindikasi radikal, biarkan dia menghuni kamp konsentrasi seumur hidupnya, jangan dikeluarkan sampai benar-benar bertobat.

Kalaupun sudah dinyatakan bebas dan berhak keluar kamp, mereka tetap harus diawasi serta tetap wajib lapor kepada aparat keamanan setempat. Paling tidak dikenakan status tahanan kota dulu hingga benar-benar berkelakuan baik minimal selama satu hingga dua tahun pertama. Setelah itu pengawasan boleh agak dilonggarkan namun tetap dalam radar pantauan aparat bekerja sama dengan masyarakat tempat dimana yang bersangkutan tinggal.

Walau ini merupakan sebuah dilema, pemerintah harus segera memutuskan nasib orang-orang terlantar tersebut. Kalau ditolak harus jelas dimana mereka tinggal selanjutnya agar apabila ada keluarga yang ingin bertemu bisa diarahkan ke negara mana harus berkunjung. Kalau diterima sebaiknya memang harus dipersiapkan sebuah karantina seperti kamp konsentrasi dalam rangka deradikalisasi untuk memulihkan kesadaran mereka berbangsa dan bernegara yang berasaskan Pancasila. Ingat, mereka juga manusia terlepas dari kejahatan yang pernah dilakukannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun