Hari ini, setiap tanggal 9 Desember diperingati sebagai hari anti korupsi sedunia. Praktik korupsi yang sudah berlangsung puluhan tahun sejak Indonesia merdeka sudah sangat meresahkan banyak pihak. Pemerintah sendiri telah berupaya keras memberantas korupsi, mulai dari pembentukan KPK, PPATK, pengurangan transaksi secara offline, proses pengadaan barang dan jasa secara online, pengurusan perizinan terpadu satu pintu, dan lain sebagainya. Namun tetap saja korupsi masih menjadi momok yang sulit diberantas, mengapa?
Korupsi ibarat sebuah lingkaran setan yang tiada ujung pangkalnya. Ibarat ayam dan telor, sulit sekali menebak siapa yang memulai karena semua berlangsung secara sistemik. Hampir semua pihak terlibat di dalamnya dan uangpun berputar tiada henti. Sebagai ilustrasi, korupsi dimulai dari pengurusan surat atau pelanggaran yang berujung pada biaya lebih yang diberikan pada oknum aparat yang mengurusnya. Oknum aparat di level bawah tersebut kemudian menyetor kepada level di atasnya secara berjenjang. Tentu ada sebagian jatah yang disimpan sendiri disamping diberikan pada tingkatan yang lebih tinggi.
Semakin tinggi jabatan, semakin besar menerima jatahnya. Namun jangan lupa, pengeluaran juga semakin besar. Tiap minggu, bahkan tiap hari mungkin ada saja permintaan sumbangan, baik individual seperti undangan pernikahan, sunatan, maupun pembangunan tempat ibadah, sekolah, pos ronda, dan sebagainya. Belum lagi jatah preman yang harus diberikan pada oknum anggota dewan sebagai tanda terima kasih atas diberikannya proyek ke instansi yang dipimpinnya.
Oknum anggota dewanpun juga tak luput dari sasaran permintaan sumbangan, baik dari konstiuennya maupun para tetangga, sahabat, teman sejawat, dan lain sebagainya. Kemudian orang-orang yang menerima ini, saat kembali berhadapan dengan urusan surat menyurat, kembali diminta biaya lebih seperti cerita di atas. Jadi semua uang berputar di situ-situ saja membentuk sebuah lingkaran yang sulit untuk diputuskan.
Jadi salah besar kalau beranggapan bahwa korupsi hanya semata-mata untuk memperkaya diri pribadi saja. Kita sering luput menelusuri jejak uang hasil korupsi karena larinya sudah kemana-mana, ibarat cipratan air terjun yang menerpa batu besar, siapapun yang berada di dekatnya pasti akan terkena dampak limpahannya. Besar kecilnya tergantung jauh dekatnya dari sumber cipratan tersebut.
Budaya kita juga secara tidak langsung mendukung terciptanya iklim tersebut. Rasa sungkan pada orang yang lebih tua atau atasan, budaya gotong royong seperti membantu tetangga, saudara, sahabat saat bikin kenduri, atau bikin pos ronda, pertemanan yang bersimbiosis mutualisme, serta rasa gengsi yang tinggi turut mendorong tumbuh suburnya korupsi. Lebih baik tenar menggunakan jam tangan mahal dari hasil korupsi daripada jadi direktur tapi tak punya apa-apa.
Dari kecilpun kita sudah dibiasakan untuk melakukan hal-hal yang mendekati korupsi. Misal waktu buat proposal kegiatan, sengaja dilebihkan anggarannya biar dapat lebih, atau memang sebagai antisipasi bakal dikasih separuhnya. Kebiasaan mencontek, membolos, titip absen waktu sekolah juga turut menyemai benih-benih kenakalan yang berujung pada perilaku korup.
Lalu, darimana memutus aliran lingkaran tersebut? Teladan sepertinya sudah tak mempan lagi. OTT yang dilakukan berulang-ulang juga tak memberikan efek jera yang signifikan. Semua sudah berjalan sistematik dan membentuk sebuah rantai makanan yang tak mudah untuk diputuskan. Justru upaya pemberatasan korupsi di sisi lain malah merusak ekosistem yang sudah terbangun tersebut dan berdampak pada berkurangnya pendapatan bagi yang biasa kecipratan.
Contoh kecil, upaya efisiensi dengan mengadakan rapat di kantor justru mengurangi pendapatan sektor akomodasi seperti hotel secara signifikan. Pengurangan berkas-berkas offline juga turut mengurangi pendapatan industri percetakan. Sumbangan yang kecil nilainya karena tidak ada lagi 'seseran' dianggap pelit oleh pengundang atau peminta sumbangan, bahkan jadi bahan gunjingan tetangga.
Memang serba salah, di satu sisi ingin berubah, namun di sisi lain sebagian masyarakat tak mau berubah. Kita selalu menuntut pemberantasan korupsi tapi tak mau mengubah atau memperbaiki diri. Pemberantasan korupsi masih sebatas jargon di atas kertas yang dipajang di hampir setiap instansi pemerintah. Namun kenyataannya masih jauh panggang dari api.
Kemajuan teknologi informasi sedikit banyak membantu pemberantasan korupsi, minimal untuk urusan yang bersifat personal. Contohnya pengurusan paspor yang sudah online sehingga tidak perlu lagi menggunakan jasa calo untuk pengurusannya. Demikian pula urusan kependudukan, di beberapa kabupaten/kota sudah mulai dipermudah dan cepat pengurusannya.Â