Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Hidup Sederhana Butuh Keteladanan dan Pengawasan

24 November 2019   16:32 Diperbarui: 24 November 2019   21:56 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hoegeng Contoh Pejabat Sederhana (Sumber: Okezone.com)

Imbauan hidup sederhana mungkin sudah berulang kali diucapkan para pemimpin negeri ini, terakhir oleh Kapolri yang menginginkan anggotanya hidup sesuai dengan gaji yang diterimanya. Namun dalam kenyataannya seperti panggang jauh dari api. Himbauan tetaplah hanya sebuah himbauan bila tak ada contoh kongkrit dan pengawasan yang ketat.

Pola hidup sederhana menyangkut perilaku manusia yang dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Kalau lingkungan sekitarnya sebagian besar berpola hidup sederhana, maka sang manusia itupun akan ikut menjalani hidup sederhana. Dia akan risih kalau terlihat mewah sendiri di antara lingkungannya yang sederhana. Demikian pula sebaliknya, rasa iri timbul bila melihat lingkungannya dipenuhi kemewahan, sementara dirinya tertinggal sama sekali. Apapun akan diupayakan demi mencapai level yang sama dengan lingkungannya.

Keteladanan merupakan barang langka di negeri ini. Amat jarang sekali seorang tokoh baik yang masih hidup maupun sudah meninggal dibicarakan orang karena kesederhanaan dan kejujurannya. Sebut saja nama Hoegeng Imam Santoso, mantan Kapolri yang benar-benar menjalankan pola hidup sederhana sampai-sampai nyaris tak ada yang diwariskan bagi putra putrinya. Lalu mantan Jaksa Agung Baharuddin Lopa yang terkenal dengan kejujurannya semasa hidup.

Kemudian Ir. Sutami, mantan menteri Pekerjaan Umum, gudangnya uang yang justru malah tidak memiliki apa-apa ketika meninggal dunia. Ada juga beberapa tokoh lain namun jumlahnya tak banyak, sebanyak para pelaku korupsi yang terkena OTT atau penghuni kampus Sukamiskin. Jarang sekali terdengar ketika seorang tokoh meninggal dunia, semasa hidupnya berperilaku sederhana bahkan cenderung miskin, apalagi yang jujur. Paling-paling hanya prestasinya saja yang disebut saat hendak dimakamkan.

Sebenarnya masih banyak orang baik di negeri ini, namun namanya tenggelam di tengah gegap gempita sistem yang masih korup ini. Mereka tak diberi kesempatan untuk menduduki jabatan penting karena tak bisa berdamai dengan sistem yang ada sehingga terlempar di luar arena atau memang sengaja meminggirkan diri menghindari air keruh yang mengotori tubuhnya. Hanya satu dua orang saja yang bertahan, itupun bisa jadi disengaja sistem untk menunjukkan bahwa masih ada orang baik di tengah sistem yang buruk.

Namun keteladanan saja masih tidak cukup. Presiden Jokowi telah mencoba untuk tidak membunyikan sirine saat melintas jalan, bergaul dengan masyarakat tanpa sekat, namun tidak semua bawahannya mencontoh beliau. Masih sering kita dengar suara sirene atau strobo meraung-raung di tengah kemacetan jalan. Pelakunya tidak hanya pejabat tinggi, tapi juga pejabat menengah dan rendahan, bahkan oknum pengusaha yang mampu membayar untuk pengawalan khusus.

Keteladanan tanpa pengawasan menjadi percuma seperti kasus di atas. Tak ada lagi yang menghargai contoh presiden sekalipun dengan berbagai alasan. Padahal pengguna jalan yang lain juga punya alasan yang sama dengan mereka namun karena tidak punya kuasa akhirnya hanya bisa pasrah menanti kemacetan. Pengawasan yang lemah malah menyuburkan hidup bermewah-mewahan tanpa terkendali bahkan cenderung arogan, meremehkan satu sama lainnya.

Orang jadi berlomba-lomba untuk menjadi kaya dan hidup bermewah-mewahan karena lingkungan dan pengawasan yang lemah. Berbagai cara ditempuh termasuk berani melanggar hukum karena tidak adanya kontrol aparat negara, bahkan yang mengontrol sendiri malah ikut-ikutan ebrgaya hidup mewah. Jadi bagaimana mau mengawasi orang lain kalau masih belum mampu mengontrol dirinya sendiri.

Hidup sederhana baru akan berjalan manakala dimulai dari keteladanan di semua level pimpinan, tidak hanya pimpinan tinggi saja. Kemudian diikuti dengan pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan aturan di lapangan, serta kontrol sosial yang tinggi dari masyarakat untuk mengawasi para pejabat yang mencoba-coba hidup mewah dengan cara-cara yang tidak benar.

Tanpa keteladanan dan pengawasan, himbauan hidup sederhana hanyalah nyanyian merdu tanpa makna. Ibarat orang bernyanyi, cukup untuk menghidur hati sesaat, untuk kemudian kembali berjalan seperti sediakala tanpa ada perubahan apapun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun