Kebanyakan jabatan struktural juga membuat jumlah staf PNS menjadi sedikit sehingga akhirnya mengangkat banyak pegawai honorer yang sekarang disebut sebagai P3K agar menjadi bagian dari ASN yang sifatnya temporer.
Pekerjaan yang seharusnya bisa dilakukan dengan cepat menjadi lambat karena banyaknya 'raja' yang harus dilalui sebelum melaksanakan tugas.
Para "raja" ini kebanyakan berfungsi hanya menyalurkan dan mendistribusikan perintah saja pada bawahannya, selebihnya rapat sana sini dan lobby-lobby untuk kepentingan tertentu.
Namun bukan hal yang mudah untuk merombak birokrasi apalagi dengan cara yang ekstrim. Gus Dur pernah melakukannya tahun 2001 ketika merampingkan kementerian dan dinas-dinas di daerah. Eselon 5 dihilangkan dan eselon kepala dinas dinaikkan setingkat namun jumlah dinas dikurangi.
Saya sempat melihat sendiri betapa seorang kepala dinas (waktu itu eselon 3) turun derajat menjadi kepala bidang walau eselonnya tetap sama.
Fasilitas kepala dinas hilang sehingga yang biasanya dilayani sekretaris pribadi sekarang harus mensortir surat-surat sendiri. Dulu biasa memerintah sekarang siap diperintah kepala dinas yang notabene kawan seangkatannya.
Banyak pejabat akhirnya non job dan diberikan jabatan fungsional untuk menampung mereka supaya tunjangannya tidak turun drastis. Namun kerjanya hanya absen pagi dan sore, sementara siang keluyuran atau ikut rapat sana sini demi mengumpulkan kredit recehan agar tidak turun jabatan fungsionalnya.
Kondisi ini membuat persaingan tidak sehat dan saling sikutpun terjadi antar sesama pegawai demi mengambil kembali jabatan struktural yang hilang.
Akhirnya pada era Megawati dan SBY jabatan kembali dimekarkan. Jumlah dinas kembali sepeti semula dengan eselon yang naik. Akibatnya beban anggaran bertambah karena tunjangan eselon 2 (kepala dinas sekarang) lebih besar dari eselon 3 (kepala dinas dulu).Â
Eselon 5 hidup lagi di beberapa kandep (instansi vertikal) setingkat kabupaten/kota karena beban kerjanya besar. Demikian pula jumlah kementarian disesuaikan dengan undang-undang sesuai batas maksimal, bukan optimal.
Dengan jumlah jabatan yang demikian besar, tentu bukan hal mudah bagi presiden merampingkan struktur baru yang hanya terdiri dari dua level saja. Perlawanan pasti akan timbul dari dalam seperti yang pernah terjadi pada era Gus Dur.Â