Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

DPR Lembaga "Super Power" Sesungguhnya

29 September 2019   11:52 Diperbarui: 29 September 2019   12:04 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selama ini DPR selalu menganggap KPK sebagai lembaga superbody yang nyaris tak tersentuh hukum. Banyaknya anggota DPR yang tertangkap KPK mengindikasikan betapa berkuasanya KPK untuk memberantas korupsi yang dilakukan para anggotanya. 

Namun dibalik itu, sesungguhnya DPR lah yang sebenarnya berkuasa atas segala-galanya nyaris tanpa kontrol. Lalu apa saja sih yang membuat DPR bisa dianggap sebagai lembaga superpower?

Pertama, DPR dapat memberlakukan UU tanpa harus melalui persetujuan presiden setelah 30 hari disahkan seperti terjadi pada UU MD3, sebaliknya dengan presiden yang tetap harus meminta persetujuan DPR. Hal ini menunjukkan betapa berkuasanya DPR sehingga rakyat terpaksa harus turun ke jalan untuk 'memaksa' DPR mengurungkan niatnya.

DPR bisa membuat UU sesukanya tanpa harus meminta persetujuan masyarakat yang diwakilinya. Memang ada prosedur yang harus ditempuh, mulai dari menyusun naskah akademis, uji publik, legal drafting, hingga pembahasan materi pokoknya. 

Namun semua itu dapat dilalui dengan mudah selama di antara mereka sepakat untuk meloloskannya tanpa perlu meminta pertimbangan banyak pihak. Inilah yang kemudian memicu demonstrasi karena rakyat merasa tidak dilibatkan sepenuhnya dalam penyusunan UU tersebut.

Kedua, nyaris tak ada sangsi bagi anggota DPR yang selalu mangkir sidang paripurna yang menentukan nasib bangsa seperti pengesahan peraturan perundang-undangan. Paling mentok hanya peringatan dari Badan Kehormatan DPR, tapi tidak ada sanksi tegas seperti pergantian antar waktu anggota dalam partainya. 

Benar bahwa DPR bukan seperti pegawai yang harus masuk kantor setiap hari, tetapi untuk hal-hal yang menyangkut hajat hidup rakyat seperti pengambilan keputusan dalam sidang paripurna seharusnya diusahakan untuk hadir memberikan suaranya.

Jadi jangan heran kalau produk yang dihasilkannya amburadul, lha wong saat pengambilan keputusannya saja secara fisik tidak memenuhi kuorum, cuma berdasarkan daftar hadir yang bisa dititipkan temannya. 

Padahal zaman Soeharto yang katanya paling korup sekalipun, anggota DPR nya jauh lebih disiplin hadir saat sidang paripurna. Waktu itu ketentuannya sebuah keputusan baru dapat disahkan bila dihadiri oleh duapertiga anggota dan disetujui duapertiganya dari yang hadir tersebut. Sekarang dengan cuma 100an orang yang hadir sudah bisa mensahkan sebuah UU.

Ketiga, setiap anggota DPR memperoleh pensiun seumur hidupnya, padahal masa kerjanya hanya lima tahun, bahkan bisa kurang dari itu. Pantas saja banyak orang berminat menjadi anggota dewan. 

Bandingkan dengan PNS yang harus menunggu sampai umur 50 tahun baru bisa mengambil pensiun dan atau telah bekerja selama 20 tahun. Padahal kalau dilihat volume kerjanya lebih besar PNS sementara gajinya jauh di bawah anggota DPR.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun