Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Akankah Polarisasi Meredup Pasca Pilpres?

18 April 2019   13:41 Diperbarui: 18 April 2019   14:08 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Prabowo Bersujud Merayakan Kemenangan (Sumber: Kompas.com)

Tunai sudah perhelatan akbar untuk memilih pemimpin negeri ini selama lima tahun ke depan. Hasil resmi memang belum diumumkan karena harus menunggu hasil perhitungan manual yang baru akan disampaikan tanggal 22 Mei mendatang, namun dari hasil quick count sudah tergambar jelas siapa yang bakal melanjutkan pemerintahan selama lima tahun ke depan.

Jauh sebelum pilpres usai, bahkan sejak lima tahun lalu polarisasi telah berlangsung dan nyaris memecah belah bangsa yang sudah merdeka selama 73 tahun lebih ini. Para cebong dan kampret saling serang terutama di medsos, bahkan hingga ke ranah nyata tak saling bertegur sapa. Keluarga terpecah gara-gara perbedaan dukungan capres, pertemanan putus karena beda kubu. Padahal para elit yang berseberangan di atas malah bahu membahu menguasai kekayaan alam negeri ini seperti ditayangkan dalam film Sexy Killer yang menghebohkan menjelang hari pencoblosan.

Sejak pencoblosan berakhir hingga hari ini, saya perhatikan di linimasa baik FB maupun Twitter serta berita-berita di internet, rasanya polarisasi justru semakin menghangat terutama setelah data quick count dipaparkan dan diperbaharui setiap hari. Apalagi setelah Capres 02 bersujud syukur tanda 'kemenangan' hasil QC internal yang memenangkan pasangan tersebut 62%, situasi di medsos makin panas. Tagar "INAelectionobserverSOS" kembali menggema, bahkan hari ini ditambah dengan tagar "cybermuslimrussianforprabowoSOS" sampai gambar petasan disebarkan kemana-mana.

Seolah tak terima hasil QC, ada semacam upaya untuk mendelegitimasi KPU, paling tidak 'menekan' KPU untuk secepatnya bisa 'menyesuaikan' hasil pilpres sesuai keinginan kubu tertentu. Padahal pengumuman resmi baru akan berlangsung sebulan lagi, namun sebagian orang sudah tidak sabar lagi untuk segera melihat 'presiden' baru pilihan mereka. Padahal akan lebih baik kalau kedua belah pihak sama-sama mengawal kotak suara dari TPS hingga ke KPU ketimbang malah memperkeruh suasana pasca pilpres ini.

Sebenarnya di tahun 2009 sempat juga terjadi polarisasi antara pendukung SBY dan pendukung JK. Namun karena hasil QC terlalu jauh jaraknya membuat polarisasi itu redam dengan sendirinya. Lagipula saat itu polarisasi belum dibungkus dengan isu SARA atau politik identitas sehingga tidak ada ikatan atau keyakinan yang bermain di dalamnya.

Hal ini berbeda dengan polarisasi yang terjadi pada pilpres 2014 dan 2019. Isu-isu bernuansa SARA berperan penting dalam menciptakan polarisasi ini. Ketidaksukaan, kalau tidak boleh dibilang kebencian, kaum agamis tertentu (tidak semua) kepada golongan nasionalis tertentu menjadi pemicu awal tumbuhnya polarisasi, ditambah reaksi yang juga berlebihan dari lawannya membuat luka di masing-masing pihak semakin dalam. Luka tersebut sulit untuk disembuhkan dalam sekejap, bahkan bisa jadi semakin berlarut bila pengumuman KPU dan keputusan MK terhadap hasil gugatan terhadap KPU semakin meneguhkan kemenangan Capres 01.

Polarisasi di tahun 2019 mencapai puncaknya karena turut didukung oleh orang-orang yang dulunya berada di belakang atau memilih petahana namun mereka kecewa karena janji-janji petahana yang tidak dipenuhi, atau yang tidak kebagian kursi empuk di lingkungan pemerintah. Memang harus diakui bahwa tidak semua janji Jokowi pada periode pertama terpenuhi, terutama yang menyangkut penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM, carut-marutnya penanganan jaminan kesehatan, serta masalah lingkungan hidup sebagai dampak dari pesatnya pembangunan infrastruktur.

Ketidakpuasan atau kekecewaan inilah yang kemudian tumbuh menjadi kebencian, berpadu dengan keyakinan atau keteguhan iman. Hanya ada dua kata, kemenangan atau kecurangan, yang selalu didengung-dengungkan sejak awal terjadinya polarisasi. Kalau sudah menyangkut iman atau keyakinan, sulit untuk digoyang barang sesenti pun. Alih-alih mengoreksi diri sendiri, justru yang ada semakin sering menyalahkan pihak-pihak yang tidak mendukung pilihannya, termasuk golput sekalipun (walau lawannya juga sering menyerang golput).

Belajar dari pengalaman 2014, polarisasi tampaknya tak akan redup hingga muncul tokoh yang mampu menengahi kedua kubu untuk bertarung di 2024. Saat ini memang diperlukan seorang tokoh besar yang mampu menjadi jembatan antara kedua belah pihak. Tokoh tersebut harus mampu berdiri seimbang, tidak memihak 01 maupun 02 namun juga tidak golput atau apatis dengan keadaan. Selain itu integritas dan moralitas tokoh tersebut juga harus diakui oleh kedua belah pihak, tanpa ada cela atau celah sedikitpun untuk menggugatnya.

Indonesia, seperti negara-negara di Asia lainnya, masih belum bisa sepenuhnya mengandalkan sistem yang berjalan seperti di negara maju. Kharisma seorang tokoh lebih berperan dalam mengelola suatu negara ketimbang sistem yang berjalan. Harus ada tokoh yang dihormati semua pihak agar jalannya roda pemerintahan lancar, seperti Raja di Thailand dan Jepang, atau Pemimpin Partai di Tiongkok dan Korut. Lalu, siapakah tokoh yang pantas untuk mendamaikan kedua belah pihak? 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun