Pagi-pagi saat membuka laman kompas.com, ada judul yang cukup mencolok terpampang di headline yang berbunyi "Survei Litbang "Kompas": Elektabilitas Jokowi-Ma'ruf 49,2 Persen, Prabowo-Sandiaga 37,4 Persen".Â
Hasil survei Litbang Kompas yang diumumkan hari ini (20/03/2019) cukup mengagetkan terutama bagi para pendukung petahana. Untuk pertama kalinya tingkat elektabilitas petahana berada di bawah angka 50% dan jarak elektabilitas antar kedua pasangan tinggal 11% saja.
Hasil ini mengingatkan saya pada pilkada DKI lalu, dimana petahana BTP-DSH hasilnya baik putaran I maupun II tetap di kisaran 42% saja, sementara suara pasangan AHY-SM justru sepenuhnya lari ke pasangan AB-SU yang pada putaran pertama memperoleh 39% menjadi 58%.Â
Walau dalam beberapa survey petahana selalu unggul, namun angkanya memang tak lebih dari kisaran 40-45% yang berpotensi tersalip oleh pesaingnya.
Kalau boleh jujur, menurunnya elektabilitas petahana terjadi diawali ketika memilih calon wapresnya dari kalangan agamis. Harapan untuk meraih suara kaum agamis rupanya tidak membuahkan peningkatan elektabilitas, malah justru menambah jumlah potensi golput.Â
Kasus korupsi yang juga terjadi di dalam kubu petahana juga ikut menggerus kepercayaan masyarakat terhadap orang-orang yang berada di sekitarnya. Terakhir salah seorang ketua parpol pengusung turut terseret OTT KPK ditengarai bakal turut memperkeruh keadaan, apalagi survei di atas dilakukan sebelum terjadinya kasus tersebut. Bisa jadi setelah pertengahan Maret ini bakal terjadi penurunan elektabilitas lagi.
Jargon bahwa presiden tak ikut campur urusan KPK dan membuktikan tidak tebang pilih sepertinya kurang kuat untuk mengangkat elektabilitas kembali. Justru sebaliknya, masyarakat jadi berpikir jangan-jangan banyak orang di sekelilingnya yang berperilaku sama, hanya nasibnya lebih baik karena masih terhindar dari radar KPK.Â
Banyaknya kasus pelanggaran HAM yang belum tuntas, termasuk kasus Novel dan kasus-kasus terdahulu seperti kasus Munir, Kendeng, Benoa, bandara NYIA, dan sebagainya juga berimbas pada turunnya kepercayaan terutama para aktivis HAM kepada pemerintah sekarang.
Infrastruktur yang selalu digadang-gadang oleh pemerintah sebagai keberhasilan ternyata tak luput dari masalah. Walau sudah banyak jalan tol serta MRT rampung, namun setelah beroperasi timbul masalah seperti longsor di ruas tol Semarang - Salatiga, banjir di ruas tol Madiun - Kertosono. Â
Tidak jelasnya pembangunan kereta cepat, penyelesaian LRT yang molor dari jadwal, serta terbengkalainya pembangunan rel di Sulsel menjadi contoh bahwa ternyata masih banyak hal yang harus diselesaikan pemerintah dalam waktu yang semakin sempit ini.