NTT khususnya Kupang dan Pulau Timor memiliki tempat tersendiri di hati saya karena banyaknya kenangan ketika ditugaskan selama sekitar enam bulan di sana. Banyak hal yang saya peroleh ketika bertugas di sana, dan saya bersyukur bisa menikmati alamnya yang indah walau berada di atas atol raksasa bernama Timor.
Permasalahan yang terjadi di sana memang cukup kompleks, kondisi alamnya yang cukup kering karena tumbuh di atas tanah kapur.
Cuaca yang lumayan panas, lebih panas dari Jakarta, kurangnya air bersih yang memadai, juga nasib tak tentu membuat sebagian penduduknya bermigrasi bahkan hingga ke luar negeri.
Mereka yang belajar ke luar pulaupun seperti enggan untuk kembali membangun kampungnya yang memang cukup keras alamnya. Uniknya, para pendatang yang sebagian besar pedagang atau pengusaha justru cukup sukses di sana.Â
Sebagian dari mereka membuka warung makan atau toko kelontong yang melayani sebagian lainnya yang menjadi karyawan perusahaan dari pusat yang memiliki cabang di NTT.
Beberapa kali saya singgah di warung Padang tempat beristirahat bis di antara Soe dan Kefa, atau warung Lamongan di pusat kota Soe dan Warung Padang di Kefa. Di Atambua juga ada beberapa penjual Pecel Lele atau Soto Ayam seperti yang biasa saya makan di Jawa.
 Lalu Benteng None yang menjadi saksi sejarah perang antar suku, dan rumah raja Amanuban yang masih digunakan hingga saat ini. Pulau Rote memiliki tempat surfing yang bagus, sementara Flores kaya akan wisata budaya dan alam, namun hanya Komodo dan Kelimutu saja yang dikelola dengan baik.