Dulu, gurun pasir identik dengan gersang dan kering, nyaris tak ada kehidupan di sana. Orang-orangnya hidup nomaden, berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya di sepanjang gurun pasir tersebut.Â
Namun sejak ditemukannya cadangan minyak terbesar di dunia pada awal abad ke-19 lalu, semua berubah total. Negara-negara teluk yang miskin mendadak jadi kaya berkat minyak dan mulai bebenah diri agar tidak tertinggal dari negara lain yang lebih makmur.
Qatar adalah negara terkaya keempat di dunia di bawah Luxembourg, Norwegia, dan Swiss (Sumber: IMF, 2016) dengan tingkat pengangguran kurang dari 0,1%.Â
Uniknya, penduduk asli Qatar hanya 13% dari seluruh penduduk yang menetap dan bekerja di sana. Sebagian besar pekerja berasal dari negara lain seperti India, Nepal, Sri Lanka, Bangladesh, Pakistan, Mesir, dan Filipina.
Setelah itu Doha berkembang dengan membangun pulau artifisial alias pulau reklamasi dengan nama the Pearl, diambil dari mata pencaharian orang Qatar dahulu yang berburu kerang untuk diambil mutiaranya, sebelum ditemukan minyak dan gas bumi dengan jumlah besar. Reklamasi besar-besaran seluas 400 ha dengan bentang 30 km, 22 km di antaranya digunakan sebagai bandara internasional Hamad.
Doha tak tampak lagi sebagai lautan gurun pasir, tapi bermetamorfosis menjadi kota metropolitan dengan gedung-gedung pencakar langit yang memenuhi ruang kota. Tata kotanya juga tampak rapi dengan bentuk jaring laba-laba yang melingkari kota, mulai dari pusatnya hingga ke pinggiran kota.
Keindahan gedung-gedung tersebut seolah menutupi gersang dan keringnya gurun pasir, bagaikan oase di tengah padang pasir yang tandus. Selain itu juga terdapat taman-taman hijau yang memberikan kesegaran tersendiri bagi warganya di tengah panas terik udara gurun.