Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

73 Tahun Merdeka, Kita Masih Mudah Diadu Domba

16 Agustus 2018   11:56 Diperbarui: 17 Agustus 2018   04:04 1959
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bangsa ini seolah terpecah menjadi dua kubu antara yang pro pemerintah, tepatnya pro presiden sekarang dengan penentang yang menjadi pendukung penantangnya dulu.

Situasi ini masih berlangsung meski sang petahana telah menggandeng 'lawannya' untuk berada dalam satu bahtera pada pilpres mendatang. Belum terlihat perubahan signifikan setelah pengumuman capres cawapres seminggu lalu, malah kecenderungan golput tampak semakin meningkat.

Penerapan praktik devide et impera atau pecah belah dan jajahlah ala Belanda terhadap Indonesia di masa lalu seperti menemukan buktinya saat ini. Bangsa ini ternyata rapuh, mudah sekali dikompori oleh pihak lain yang sebenarnya berkaki dua, satu kaki berada di pihak pendukung petahana, satu kaki lagi berada di pihak penantang.

Mereka inilah yang menginginkan Indonesia kembali berantakan lalu dengan mudah kembali menguasai sumberdaya alam yang semakin menipis.

Menyatukan 300-an etnis dalam satu negara memang tak mudah. Ada banyak kepentingan yang harus diakomodasi, namun tak mungkin semuanya bisa dipenuhi.

Kita seharusnya bersyukur tidak ada satupun dari etnis tersebut yang benar-benar ingin memisahkan diri dari NKRI. Bayangkan, tidak mudah menyatukan ratusan etnis dalam satu negara selama 73 tahun masih eksis.

Yugoslavia adalah contoh mudah betapa rapuhnya suatu negara multi etnis yang tidak dibarengi kepemimpian yang kuat, begitu Tito wafat, lambat laun etnis penghuni negara tersebut memisahkan diri membentuk entitas negara sendiri walau harus melalui perang yang berkepanjangan.

Uni Soviet juga demikian, 15 negara bagian yang pernah bersatu di era Stalin lepas pasca reformasi yang digaungkan oleh Mikhail Gorbarchev.

Untunglah Rusia sebagai negara bagian terbesar masih mampu mempertahankan ratusan etnis yang ada di dalam wilayahnya hingga saat ini, walau satu dua negeri di wilayah Kaukasus masih berupaya mencoba untuk memisahkan diri.

Di bawah Putin, Rusia kembali bangkit untuk bertarung melawan Amerika Serikat dan merebut kembali kejayaan Uni Sovyet yang mampu menciptakan perang dingin melawan dunia barat.

Melihat situasi sekarang ini, masih jauh rasanya perpecahan itu bakal terjadi. Apalagi percampuran etnis yang terjadi berkat pernikahan antar suku di Indonesia membuat anak-anak kita tak lagi bisa mengatakan berasal dari suku A atau B karena ayah dan ibunya sudah berbeda suku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun