Awalnya, banyak pihak menganggap tagline #2019gantipresiden hanyalah ungkapan emosional oposisi yang semakin frustrasi dengan semakin meningkatnya popularitas petahana dibanding dengan penantangnya. Kaum pembela petahana menganggap tagline tersebut hanya akan berumur pendek seperti isu-isu lain yang timbul lalu beberapa saat tenggelam di tengah semakin kencangnya petahana berlari.
Namun hasil quick count terutama pilkada Jabar menunjukkan bahwa tagline tersebut bukanlah pepesan kosong. Tanpa diduga banyak pihak, pasangan Asyik menoh0k di peringkat kedua menggusur dua-D yang digadang-gadang bakal mempersulit Rindu pada kontestasi pilkada tersebut.Â
Dengan raihan sekitar 29%, Asyik hanya beda tipis dengan calon kuat Rindu yang memperoleh sekitar 32% suara. Dua-D terjungkal di posisi ketiga dengan 25% suara, sisanya diraup Hasanah sebagai juru kunci dengan 14% suara masuk.
Berdasarkan pengamatan saya yang kebetulan berada di Bandung menjelang pilkada, tampak terdengar pembicaraan ganti presiden jadi topik pilihan sebagian warga Jabar yang kurang puas terhadap kinerja pemerintah. Isu yang dilontarkan antara lain harga sembako yang terus naik walau sebenarnya kenaikan tahun ini tidak separah tahun-tahun sebelumnya.
Tapi yang paling terasa adalah harga ayam dan telur yang naik cukup signifikan. Harga ayam bisa mencapai di atas 45 Ribu per kilo dari biasanya hanya 25-35 Ribu, sementara harga telur yang biasanya maksimal 20 Ribu per kilo naik hingga hampir menyentuh angka 30 Ribu.
Isu berikutnya adalah pegawai honorer terutama guru yang tak kunjung diangkat padahal sudah belasan tahun mengabdi. Di sebuah acara halbil warga di kampung, isu ini cukup ramai dibicarakan mengingat sebagian warga sudah mengabdi jadi guru belum juga diberi kesempatan untuk diangkat dan tetap harus melalui seleksi umum padahal mereka sudah tidak mampu lagi mengerjakan soal seperti fresh graduate sehingga bakal selalu kalah bersaing.
Isu lapangan kerja juga masih jadi primadona pembicaraan warga kampung, katanya sih semakin susah dapat kerja dengan gaji yang layak untuk hidup sehari-hari. Semakin mahalnya harga rumah juga turut menjadi obrolan para kaum muda yang hendak membangun keluarga sakinah mawaddah wa rahmah. Bagaimana mau membangun keluarga bahagia kalau rumah saja tak punya, masa seumur hidup harus jadi kontraktor alias ngontrak rumah selamanya karena tak mampu mencicil beli rumah.
Isu-isu keseharian yang menimbulkan ketidakpuasan inilah yang ditangkap oposisi untuk menggaungkan gerakan tagar #2019gantipresiden. Mug atau kaos boleh ga laku dijual, tapi ide gerakan ini harus terus bergema dengan menangkap momentum pilkada. Pilkada Jabar merupakan momentum yang tepat untuk mengukur sejauh mana kinerja gerakan ini, dan terbukti cukup ampuh untuk dilanjutkan dalam skala nasional. Tampak sekali sebelum pilkada, para relawan gerakan ini aktif menyelipkan pembicaraan ganti presiden di tengah ungkapan ketidakpuasan warga saat silaturahmi lebaran di kampungnya.
Hasilnya tampak jelas sekali sebagaimana telah diuraikan di atas. Asyik bertengger sementara di urutan kedua, bahkan sebagian pihak masih berharap bisa menyodok di saat-saat akhir menjelang pengumuman real count KPU Jabar. Ini tentu menjadi sinyal serius bagi petahana untuk lebih waspada dsn mawas diri, karena pola permainan isunya tidak lagi seperti pilkada DKI yang berbasis sentimen agama tapi lebih kepada pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari yang semakin sulit.
Petahana tidak bisa lagi hanya sekadar menampilkan klaim keberhasilan pembangunan yang ternyata kurang laku di lapisan bawah selama kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, dan papan belum sepenuhnya dinikmati masyarakat di akar rumput. Buat mereka jalan tol atau pelabuhan tidak terlalu penting dan mendesak ketimbang urusan perut dan tidur nyaman.
Ingat, pertarungan baru saja dimulai menjelang 2019, pemanasan sudah berlangsung dan hasilnya mulai tampak, walau pihak oposisi kebanyakan kalah dari hasil quick count pilkada. Kalah duluan tak masalah, yang penting isu utama sudah terpegang untuk digelontorkan jelang pilpres 2019.