Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksi Islami

Honorer Menanti THR Tak Kunjung Sampai

30 Mei 2018   09:15 Diperbarui: 1 Juni 2018   07:23 1216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lebaran tahun ini merupakan tahun paling membahagiakan buat PNS dan pensiunan. Betapa tidak, mereka memperoleh THR senilai gaji dan tunjangan, plus gaji ke-13 di saat tengah boros-borosnya pengeluaran. Apalagi buat pegawai yang harus menyekolahkan anaknya, tentu kebijakan tersebut sangat menolong mengurangi beban pengeluaran tanpa harus mencari celah lain yang tidak diridhoi.

Namun kegembiraan tersebut tidak berlaku bagi Somad, pegawai honorer yang telah puluhan tahun mengabdi di sebuah instansi pemerintah. Dia hanya bisa menelan ludah mendengar pengumuman tersebut di televisi. Penasaran, dia coba browsing di internet, namun tak ada satupun kata 'honorer' yang klop dengan kata 'THR'. Semua mesin pencari sudah dijelajahi dan yang muncul hanya kata PNS dan pensiunan yang mengiringi kata 'THR'.

Masih kurang puas, dia coba tanya bagian TU, jawabannya singkat, tunggu Keppres diteken. Lalu dia coba naik ke Bagian Keuangan, sami mawon, Keppres belum diteken, dan kalaupun diteken isinya persis seperti tahun lalu, hanya PNS yang memperoleh THR dan gaji ke-13. Honorer tergantung instansinya apakah menganggarkan atau tidak. Beruntung tahun lalu gaji ke-13 untuk honorer masuk dalam anggaran, namun tetap tanpa ada kata 'THR' di dalamnya.

Menyedihkan memang menjadi honorer di negeri sejuta umat ini. Gaji lebih kecil dari PNS dan tidak ada tunjangan kinerja, namun beban kerja terkadang lebih berat dari PNS yang seharusnya menanggung beban tersebut. Mereka hanya disodori perpanjangan kontrak setiap tahun tanpa ada kepastian tahun berikutnya masih diperpanjang atau tidak, tergantung ketersediaan anggaran di instansinya, dan tentu 'kedekatan' dengan pimpinan unit kerjanya.

Berkali-kali Somad ikut tes baik umum maupun seleksi K-2, tapi tetap saja tak pernah lolos. Sementara rekan satu timnya yang lebih muda lolos tes padahal baru tiga tahun jadi honorer. Usut punya usut, ternyata yang bersangkutan adalah keponakan mantan kepala bagian di salah satu unit kerja di kementerian tersebut. Dulu Somad sering meminta bantuan dia untuk membereskan pekerjaan, sekarang justru terbalik, Somad yang harus mengikuti perintahnya di kantor. Lagipula ijazah Somad cuma SMA yang sudah tidak laku, sementara dia berijazah perguruan tinggi.

Sudah jatuh tertimpa tangga, begitulah nasib Somad. Tahun ini ketiga anaknya masuk sekolah baru, yang satu hendak kuliah, yang satu masuk SMA, dan satu lagi masuk SMP. Somad sedikit beruntung karena dua anak terakhir berhasil masuk MTsN dan MAN sehingga tidak terlalu besar beban yang harus ditanggung. Namun namanya duit tetap saja harus keluar dengan alasan sumbangan komite, uang seragam, sumbangan kegiatan, dan lain sebagainya yang juga tidak kecil jumlahnya. Sementara yang kuliah sedang menunggu nasib bulan Juli nanti apakah diterima atau tidak.

Bulan puasa memang benar-benar cobaan sekaligus godaan buat Somad. Sudah tidak memperoleh THR dari negara, kantorpun semakin memperketat anggaran dengan tidak memberikan THR khusus kepada para karyawannya. Pengawasan semakin ketat sehingga sudah sulit untuk mencari 'sumber lain' di luar anggaran yang telah ditetapkan. Dia hanya mengharap belas kasihan dari pimpinan unit kerjanya yang tak kunjung tiba hingga dua minggu sebelum lebaran ini.

"Somad, tolong kamu temui pak Andri di taman Scorpio jam 10.00 pagi ini ya," pinta kepala unit kerjanya pada Somad.

"Baik pak, apa yang harus saya lakukan?" tanya Somad.

"Kamu ambil titipan dari dia, untuk lebaran teman-teman kita di sini," jawab pimpinannya lagi.

"Maaf pak, kebetulan saya harus mengantar anak daftar sekolah," Somad mencoba untuk menghindar. 

"Udahlah, kamu kan cuma honorer, yang harusnya takut itu kami, ga bakallah orang mencurigai kamu," pimpinannya mulai naik pitam.

Somad terdiam sejenak, mencoba merenungkan kembali perintah bosnya. Di satu sisi, dia memang sedang butuh uang yang tentu lumayan kalau kebagian. Namun di sisi lain, hati nuraninya bergejolak dan seperti ada yang membisiki untuk jangan mengambil tugas itu.

Sesaat kemudian, Somad menggelengkan kepala. "Maaf pak, hari ini terakhir pendaftaran sekolah. Saya tidak mau nasib anak saya terlantar gara-gara terlambat daftar sekolah," pinta Somad pada pimpinannya.

Tampak merah padam muka pimpinannya, belum pernah ada anak buah yang berani membantah perintahnya.

"Hmmm, baiklah. Panggil Sudi kemari, biar dia saja yang urus, toh SK-nya belum keluar, jadi belum resmi PNS dia," ujar sang pimpinan sambil berusaha menahan marah di bulan puasa. Sudi inilah rekan sesama honorer yang baru saja lulus tes PNS.

"Somad! Mulai besok kamu saya bebastugaskan sementara hingga lebaran," dengan tegas bos memberi sangsi pada Somad.

"Baik pak, saya pamit dulu," Somad dengan tertunduk lesu segera keluar ruangan dan memanggil Sudi untuk menghadap pimpinan.

* * * *

Seminggu lagi lebaran, dan sudah seminggu pula Somad hanya berdiam diri di rumah. Tak ada satupun pimpinan di bawah kepala bagian maupun rekan kerjanya ingat untuk sekedar bertelepon ria. Semua sibuk dengan dunianya sendiri mengejar THR di kantor ketimbang mengingat nasib Somad.

"Telolet .... telolet ... telolet ... !" suara hape Somad berbunyi. Nomor tak dikenal masuk, Somad ragu untuk menerimanya, jangan-jangan cuma marketing yang juga lagi cari bonus buat lebaran. Sekali tak diangkat, beberapa menit kemudian hape berdering lagi, namun tak juga diangat Somad.

Tak lama SMS masuk, berbunyi: "Somad, kau masih ingat aku kan? Aku Dirman, mantan bosmu dulu. Sekarang sudah pensiun, bisakah kau jumpa aku di kafe Wangi sambil bukber?" Tak menunggu lama, Somad langsung membalas,"Baik pak, siap berangkat". 

Somad sebenarnya juga ragu, mengingat bos yang satu ini termasuk pelit dan cuma bisa perintah saja. Jangan-jangan dia cuma minta tolong saja, namun ga enak kalau bicara di telepon. Tapi karena mantan bos, ga enak juga kalau tidak ditemui, toh kafenya ga jauh-jauh amat.

"Pa kabar Mad? Baik-baik aja kau kan?" sapa pak Dirman.

"Baik pak. Maaf, dengan tidak mengurangi rasa hormat, ada apa ya sebenarnya Bapak memanggil saya kemari," tanya Somad keheranan.

"Begini Mad. Aku sebenarya ingin mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu dulu. Kalau kau tak simpan dokumen itu, mampuslah aku,"

Somad mencoba mengingat kasus yang menimpa bosnya dulu. Benar, bosnya nyaris masuk bui gara-gara difitnah mengatur hasil lelang dengan memenangkan PT Angin Ribut yang notabene mengalahkan PT Semrawut milik seorang petinggi partai berkuasa. Untung semua dokumen disimopan dengan rapi oleh Somad dan ditunjukkan di depan pengadilan sehingga pak Dirman lolos dari jeratan hukum.

"Itulah makanya kenapa aku pelit sama anak buah. Sadar koq aku diomongin di belakang. Aku tak mau terima titipan apapun, dan tak mungkin pula gajiku buat bayar THR kelen to waktu itu." jelas pak Dirman mengapa dia selama ini dikenal pelit sama anak buahnya. Beda dengan bosnya sekarang yang royal sama pimpingan tinggi dan anak buah.

"Aku bersyukur, tahun ini pensiunan dapat THR, sama seperti kelen. Sebagai rasa syukur aku berikan semua pensiun dan THR bulan ini buat kau. Ambillah!!" ujar pak Dirman seraya menyerahkan amplop berisi uang kepada Somad.

"Kalau ingat kasus itu, aku selalu ingat kau. Berdosa rasanya aku selama ini tidak perhatikan kau selama jadi pimpinan. Inilah saatnya aku harus tebus dosa itu," jelas pak Dirman.

"Terima kasih banyak Pak. Saya tidak menyangka sama sekali, maaf pak, saya tadi su'udzhon sama Bapak. Saya kira Bapak ada perlu apa gitu," Somad tersipu malu, sudah berburuk sangka duluan sebelum bertemu.

"Tak apa Somad. Aku tahu kau sedang butuh-butuhnya bulan ini. Lagipula aku sudah bekerja di konsultan, sudah ada pemasukan lagi setelah pensiun. Jadi itu bisa buat kaulah," jawab pak Dirman.

"Baik pak, sekali terima kasih atas kebaikan Bapak," mata Somad berkaca-kaca sambil memeluk Pak Dirman. Waktu berbuka puasa tiba, dan mereka melanjutkan nostalgia sambil tersenyum.

* * * *

"KPK telah melakukan OTT dengan tersangka utama S dan A seminggu lalu, dan sekarang sudah dalam proses pemanggilan saksi-saksi termasuk kepala bagian ................," Somad tersentak kaget melihat berita di televisi. Sudah seminggu dia matikan semua saluran telekomunikasi karena kecewa di nonaktifkan sementara bosnya. Dia hanya bisa sujud syukur sekaligus bersedih karena koleganya tertangkap saat sedang transaksi di sebuah taman.

Catatan: Nama dan tempat yang digunakan hanyalah fiktif belaka, kesamaan nama adalah diluar kesengajaan penulis. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Fiksi Islami Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun