Berita ambruknya Jembatan Widang yang menghubungkan Tuban-Babat cukup mengagetkan karena selama ini jalur tersebut merupakan jalan nasional yang lalu lintasnya padat. Dugaan sementara jembatan tersebut runtuh karena kelebihan beban muatan truk yang melintas di atasnya serta usia jembatan yang sudah tua sehingga perlu peremajaan.
Di sisi lain, sudah menjadi rahasia umum bahwa jembatan timbang selama ini lebih berfungsi sebagai ladang amal daripada pengendalian muatan yang melebihi beban. Pantas saja Gubernur Jateng Ganjar Pranowo sempat mencak-mencak di awal jabatannya karena menemukan banyak uang receh hasil mel petugas dengan kenek truk.Â
Pemerintah daerah selama ini 'menganggap' jembatan timbang sebagai retribusi yang memberikan pemasukan pada daerah ketimbang pengawasan beban muatan truk yang melintas di jalan.
Akibatnya wajar bila jalan raya nasional seperti jalur pantura selalu rusak karena dilalui oleh truk-truk yang kelebihan beban. Bagi pengusaha tentu lebih menguntungkan membayar retribusi kepada petugas ketimbang harus membawa muatan sesuai dengan ketentuan karena kelebihan muatannya harus diangkut dengan truk lain lagi.
Tapi bagi negara tentu ini kerugian besar karena retribusi yang diperoleh tidak sebanding dengan biaya perbaikan jalan dan jembatan.
Sudah sering para pimpinan daerah yang mengingatkan petugasnya di lapangan untuk disiplin dalam mengawasi truk-truk yang kelebihan muatan. Namun tetap saja para petugas membandel walau kantornya sudah dilengkapi dengan CCTV untuk memantau kelakuan petugas. Mereka seakan tidak peduli dampak dari kelebihan muatan truk yang berakibat bertambahnya beban negara untuk perbaikan jalan dan jembatan. Toh yang penting retribusi dan 'isi perut' tetap lancar.
Masalah kewenangan dan tanggung jawab juga berbeda dalam hal ini. Kementerian Perhubungan melalui Dinas Perhubungan Provinsi berwenang untuk mengontrol lalulintas truk dengan jembatan timbang, sementara pembangunan dan pemeliharaan serta peremajaan jalan dan jembatan menjadi urusan Kementerian PUPR atau Dinas Bina Marga setempat.
Akibatnya masing-masing instansi berjalan sendiri-sendiri, Perhubungan asyik dengan mainan jembatan timbang, sementara PU atau Bina Marga asyik mengerjakan proyek pemeliharaan yang berlangsung bertahun-tahun.
Kejadian ambruknya jembatan Widang seharusnya menjadi peringatan bagi kita semua, khususnya para petugas jembatan timbang yang lalai mengawasi dan mengendalikan muatan truk yang melebihi beban jalan dan jembatan. Para petugas tidak boleh begitu saja bermain-main dengan supir truk dan kenek hanya untuk kenikmatan sesaat.
Para pengusaha dan supir truk juga seharusnya menyadari bahwa mereka juga bisa jadi korban akibat kelalaian membawa barang dengan beban berlebih.
Semoga setelah kejadian ini, kita semua menyadari betapa pentingnya peran jembatan timbang dalam mengontrol beban muatan truk untuk melewati jalan dan jembatan. Tanpa kontrol yang ketat, jangan harap kejadian ini tidak terulang kembali.