Seharusnya kita bersyukur hidup di Indonesia, apa saja ada dan tersedia termasuk ojek untuk mengantar kita kemana-mana. Di negeri jiran, ojek merupakan barang langka, demikian juga angkutan umum terutama di pinggiran kota.
Transportasi umum yang bagus hanya ada di Kuala Lumpur saja, dan beberapa kota besar lain yang dilayani oleh bis yang dikelola Rapid dan beberapa perusahaan lainnya. Beberapa kali nyaris saya terjebak di satu daerah pinggiran kota dalam kebingungan, karena hanya taksi yang tersedia baik terang maupun gelap, antara lain:
Kami sekeluarga kehabisan tiket dari Hat Yai menuju Penang sehingga harus estafet menuju perbatasan Thailand - Malaysia di Padang Besar. Dari Hat Yai kami naik taksi hingga pintu gerbang perbatasan, lalu menyeberang ke Malaysia. Saat menyeberang kami hanya bisa celingak celinguk karena tidak ada orang berjalan kaki menuju gerbang imigrasi Malaysia.
Ada orang pertama menawari tumpangan (tidak gratis tentunya) dan saya masih berusaha mengelak. Tapi karena masih bingung, orang berikutnya cukup agresif menawari tumpangan dengan alasan tak boleh melintas jalan kaki.
Sayapun terpaksa mengiyakan karena memang tidak ada alternatif lain. Singkat kata kami sekeluarga lolos imigrasi dan langsung menuju stasiun Padang Besar. Ternyata kereta api menuju Butterworth baru ada esok pagi, sementara sore itu langsung ke KL, padahal kami sudah pesan hotel di Penang.
Akhirnya kami kembali celingak celinguk karena tidak ada angkutan umum, bahkan taksi dari stasiun Padang Besar ke kota terdekat. Untungnya ada seseorang baik hati mau mengantar kami ke kota dan pindah menyewa kereta (mobil) menuju terminal bis Changlun. Dari terminal Changlun kami harus menunggu dua jam untuk mendapatkan bus menuju Butterworth, lalu menyeberang dengan ferry menuju Georgetown di Pulau Penang.
2. Dari Gunung Kinabalu ke Kota Kinabalu
Awalnya saya hendak melancong ke Gunung Kinabalu dari Kota Kinabalu (KK) menggunakan angkot sejenis elf ke arah Ranau. Saya naik di samping supir, dan dia menawarkan untuk menghubunginya kalau hendak kembali dengan cara sewa karena katanya tidak ada angkutan kembali ke KK sore hari. Saya tidak percaya begitu saja dan mencoba mengabaikan tawarannya.Â
Setelah selesai menikmati pemandangan dari kaki Gunung Kinabalu, kami harus ke Kundasang untuk Jumatan karena tidak ada masjid di lokasi. Sebenarnya ada bis reguler, namun baru ada sore hari dari Kinabalu sehingga terpaksa kami abaikan. Dari Kundasang rupanya memang tidak ada angkutan ke KK sehingga kami terpaksa menunggu bis antar kota yang dari Tawau atau Sandakan menuju KK.
Setelah dua jam menunggu bahkan sempat makan siang dulu, akhirnya bis yang ditunggu tiba dan kami langsung naik menuju KK. Menurut kondektur memang sulit memperoleh angkot dari Kundasang menuju KK, mungkin hanya dua atau tiga kali sehari.