Konon menurut sejarah, bangsa Melayu termasuk Indonesia adalah bangsa yang senang ngobrol. Entah penting ga penting topiknya, yang penting ada bahan obrolan.
Dulu sebelum ada hape, warung kopi selalu ramai pengunjung, hanya untuk sekedar ngopi sambil ngobrol. Antrian telpon umum kadang mengular apalagi pas malam minggu. Kadang koin limpul diakali supaya bisa nelpon lama tanpa harus memasukkan koin baru lagi.
Waktu awal pertama muncul hape, berbagai operator berlomba bikin paket ngobrol supaya ga putus di tengah jalan. Lalu muncul BBM untuk mengakomodir hobi ngobrol yang mahal kalau harus nelpon dan SMS.
Kemudian medsos mulai tumbuh, obrolanpun pindah ke aplikasi chat seperti WA, atau kalau ga punya nomor bisa lewat FB atau twitter saling bersahut-sahutan. Ngobrol sudah jadi budaya, hanya medianya saja berubah dari waktu ke waktu menyesuaikan dengan teknologi.
Jadi wajarlah kalau Indonesia menjadi pangsa pasar terbesar industri telekomunikasi. Hobi ngobrol dan selfie menjadi pundi-pundi uang yang mengalir deras ke kantong para pemilik saham perusahaan telko. Sementara para penggunanya rela mengorbankan makan siangnya demi membeli paket data untuk tetap bisa bernafas di hape.
Ngobrol sudah jadi candu selain udud. Jadi ga aneh kalau birokrasi kita sering mengadakan rapat-rapat yang kadang ga penting, hanya untuk memuaskan nafsu mengobrol sesama pejabat. Topik penting paling dibahas 1-2 jam pertama, sisanua ngobrol ngalor ngidul ga jelas.
Budaya ngobrol inilah yang kadang menjengkelkan. Sebagai buruh biasa di sebuah lembaga negara, saya paling sebal kalau harus menunggu acara dibuka gara-gara si pembuka acara kelamaan ngobril dengan koleganya.Â
Lebih menyebalkan lagi bila acara sudah selesai, si bos malah nangkring melanjutkan ngobrolnya, sementara kita hanya bisa bengong menunggu beliau pergi. Mau kabur ga enak, takut dibilang ga loyal.
Wajarlah kalau negara kita tidak pernah bisa maju, lha wong hobinya ngobrol, bukan kerja. Ketika budaya kerja, kerja, kerja diperkenalkan banyak pejabat yang bersungut-sungut karena mengurangi waktu ngobrol mereka.
Jadi kalau hashtag #gantipresiden2019 makin ramai, itu karena ada yang tidak mau kebiasaan ngobrolnya dikurangi. Wong sudah biasa nyuruh koq sekarang disuruh ikut kerja. Capee deh...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H