Sudah banyak tulisan tentang Pulau Penyengat di Kompasiana, namun belum banyak orang menyadari bahwa di pulau tersebut lahirlah apa yang sekarang disebut sebagai Bahasa Indonesia. Di pulau inilah Raja Ali Haji menelorkan sebuah kamus bahasa Melayu yang menjadi cikal bakal Bahasa Indonesia yang diucapkan dalam Sumpah Pemuda Tahun 1928. Selain itu, Raja Ali Haji lebih terkenal sebagai pencipta Gurindam 12 yang berisi petuah bijak kehidupan manusia di muka bumi ini.
Kompleks Makam Raja Ali Haji (Dokpri)
Makamnya sendiri berada di sebuah kompleks pemakaman keluarga kerajaan yang didominasi warna kuning dengan sedikit balutan warna hijau. Di dalam kompleks makam terdapat bangunan yang berisi makam Engku Putri dan Raja Haji Abdullah serta istrinya. Sementara makam Raja Ali Haji sendiri berada di luar di samping bangunan utama makam, walau dibangun tudung untuk melindungi dari panas dan hujan. Di dalam kompleks tersebut terdapat puluhan makam lain yang tidak diberi tanda namun masih termasuk anggota keluarga kerajaan Riau-Lingga.Â
Makam Raja Ali Haji (Dokpri)
Semasa hidupnya, Raja Ali Haji menelorkan beberapa buah karya fenomenal selain Gurindam 12 dan buku kamus Bahasa Melayu yang menjadi dasar terciptanya Bahasa Indonesia sekarang ini seperti tertulis di
sini. Namun jasa terbesarnya adalah mengumpulkan kosa kata Melayu dalam sebuah kamus dan terdokumentasi dengan baik sehingga dapat digunakan hingga saat ini, walau ada banyak perubahan dalam penggunaannya sehari-hari yang jauh berbeda dari bahasa asalnya. Bahasa Indonesia saat ini memang sudah agak berbeda dengan Bahasa Melayu yang menjadi pijakannya dan masih digunakan di negara Malaysia.
Gerbang Masuk Pulau Penyengat (Dokpri)
Untuk menuju makam ini kita harus menyeberang dari Kota Tanjungpinang ke Pulau Penyengat, lalu dilanjutkan dengan berjalan kaki atau naik bentor sekitar 5 menit dari dermaga. Dari kota Tanjungpinang ada dermaga khusus untuk menyeberang ke Pulau Penyengat yang terletak di sebelah utara pelabuhan
 ferry dan masuk dari gang tersendiri.
Kita menyeberang menggunakan speed berisi 15 orang dengan tarif 7000 Rupiah per orang tapi harus menunggu hingga penuh. Sementara kalau mau sewa speed dikenakan biaya 200 ribu rupiah per kapal bolak-balik sepuasnya. Waktu tempuhnya sekitar 20-30 menit saja tergantung cuaca, jadi tidak terlalu jauh bahkan penampakan pulaunya sudah terlihat jelas dari pantai.
Gerbang Masjid Raya Riau (Dokpri)
Sampai di dermaga Penyengat kita langung disuguhi pemandangan Masjid Raya Riau yang menawan berbalutkan warna kuning telor yang cerah. Sepertinya warna kuning merupakan simbol Kerajaan Riau-Lingga dahulu sehingga hampir semua bangunan didominasi warna kuning. Di pulau ini tidak terdapat kendaraan roda empat, motorpun jarang, lebih banyak bentor untuk mengantar wisatawan.
Penduduk lokal lebih suka menyimpan motornya di dermaga Tanjungpinang untuk dipakai bekerja dan jalan-jalan. Jadi jangan heran kalau penitipan motor di Tanjungpinang bukan dipakai wisatawan untuk menyeberang pulau melainkan oleh penduduk pulau untuk digunakan di kota.
Kita bisa berjalan kaki keliling pulau atau menggunakan bentor untuk menghemat tenaga karena pulaunya kecil. Dari arah masjid bentor langsung mengantar kita ke bekas rumah tabib yang terkenal di masa itu. Reruntuhan bangunannya masih relatif utuh walau tanpa atap dan ditumbuhi pohon menjalar. Cukup instagrammable juga buat selfie di salah satu sudut yang ditumbuhi pohon di bekas reruntuhan bangunan ini. Setelah itu perjalanan lanjut ke kompleks makam Raja Ali Haji yang terletak di tengah pulau.
Balai Adat Kerajaan Riau Lingga (Dokpri)
Selain kompleks makam Raja Ali Haji, ada beberapa kompleks makam raja-raja lainnya, namun saya lewatkan karena waktu terbatas. Kunjungan hanya dilakukan ke Balai Adat yang merupakan replika dari bangunan khas Kerajaan Melayu Riau Lingga sebagai tempat untuk menerima tamu asing dan istana kantor yang merupakan tempat bekerja Raja Ali Haji saat bertahta, sebelum kembali menyeberang ke Tanjungpinang.
Sumur Air Tawar di bawah Bangunan (Dokpri)
Di Balai Adat terdapat sumur air tawar yang tak pernah kering dan jernih serta dapat diminum airnya. Saya sendiri berkesempatan mencoba air tawar tersebut untuk diminum dan benar-benar segar rasanya tanpa ada bau-bau yang aneh alias steril. Tak heran kalau pada zaman dahulu Pulau Penyengat merupakan transit bagi kapal-kapal asing untuk mengisi air tawar sebelum melanjutkan pelayaran. Di balai adat kita juga bisa menyewa pakaian adat untuk
selfie di pelaminan yang sudah tersedia bagi wisatawan.
Istana Kantor yang Tertutup Rapat (Dokpri)
Sayangnya Istana Kantor pintunya dikunci sehingga kita tidak bisa melihat-lihat isi dalam bangunannya. Kondisinya mulai kusam dan kurang terawat, walaupun rerumputannya masih terjaga rapi. Halamannya sangat luas dan dapat digunakan untuk upacara. Bangunannya sendiri dilindungi oleh tembok yang mengelilingi halaman seluas hampir 2 hektar tersebut. Tak lama kami berada di situ karena harus kembali ke dermaga untuk menyeberang ke kota sebelum mentari terbenam.
Lihat Trip Selengkapnya