Ada fenomena unik dalam jagongan Pilkada serentak tahun 2018, yakni adanya 12 calon tunggal yang akan bertarung melawan kotak kosong. Lebih unik lagi 3 dari 12 calon tersebut berasal dari Provinsi Banten, 2 diantaranya adalah Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang disamping Kabupaten Lebak. Hal ini menarik untuk dicermati bahwa wilayah yang bersebelahan dengan ibukota negara ternyata hanya memiliki calon tunggal.
Sebagai warga Tangerang, saya cukup heran dengan kondisi ini mengingat sebenarnya banyak manusia berpotensi yang menghuni kota dan kabupaten Tangerang. Padahal Jokowi saat pilkada periode kedua saja walaupun menang telak 91% tetap ada lawannya, tidak menjadi calon tunggal. KPU pun tetap menyelenggarakan kontestasi pilkada dengan calon tunggal walau tentu hanya membuang-buang uang negara saja.
Ada beberapa kemungkinan mengapa di Tangerang hanya menampilkan calon tunggal dalam kontestasi pilkada. Pertama, berbeda dengan daerah lain yang memiliki potensi konflik tinggi, di Tangerang nyaris tidak ada polarisasi politik bahkan sejak pilkada tahun 2013 lalu. Semua partai maupun pendukungnya seolah satu suara dengan petahana untuk melanjutkan pembangunan yang dirintis para periode pertama, walaupun secara kasat mata tidak terlalu terlihat keberhasilan atau peninggalan berharga dari sang petahana. Semua berjalan biasa-biasa saja, datar, tanpa gebrakan berarti.
Kedua, secara kultur tradisi kepemimpinan seperti diwariskan dari pendahulunya kepada orang terdekat untuk meneruskan tongkat pemerintahan. Petahana Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Lebak adalah putra dari bupati sebelumnya, sementara petahana Kota Tangerang adalah bekas wakil Walikota pada masa pemerintahan Wahidin Halim yang sekarang menjadi Gubernur Banten. Ada benang merah dan kesinambungan antara kepemimpinan terdahulu dengan sekarang dan yang akan datang.
Ketiga, biaya politik yang semakin membengkak membuat orang berpikir seribu kali untuk mencalonkan diri, karena KPK semakin ketat dalam mengawasi perburuan dana kampanye. Beberapa sudah terkena OTT termasuk calon Walikota Kendari dan Gubernur Sultra karena tersangkut dalam pencarian dana menjelang pilkada. Pakai uang sendiri atau partai jelas tidak mungkin, sementara menggunakan dana pihak ketiga tentu bakal menimbulkan masalah di kemudian hari.
Keempat, sebagian besar warganya hanya numpang tidur dan istirahat di wilayah Tangerang, sementara tempat kerjanya berada di DKI Jakarta. Pada saat hari pencoblosan mereka tidak libur karena DKI jakarta sudah melangsungkan pilkada langsung tahun lalu. Hal ini tentu akan berpengaruh pada rendahnya tingkat partisipasi warga karena hanya menyisakan ibu-ibu dan para pekerja yang bekerja di wilayah Tangerang saja. Lagipula untuk apa bolos kantor hanya untuk mencoblos petahana atau kotak kosong?
Kelima, warga di kota metropolitan lebih disibukkan urusan perut dan masa depan daripada urusan politik. Politik menjadi tidak penting selama kebutuhan dasar tercukupi dan tidak ada tekanan dari pemerintah (dalam hal ini petahana) kepada warga. Selama urusan administrasi lancar tidak bakalan ada protes atau demo terhadap petahana yang berujung ganti pemimpin daerah dengan memunculkan pesaing baru. Artinya tidak ada isu politik penting yang bisa diangkat untuk menjatuhkan petahana.
* * * *
Di negeri ini, menjadi kepala daerah masih menjadi sebuah kebanggaan ketimbang tanggung jawab untuk memajukan wilayahnya. Berbagai upaya dilakukan agar menjadi kepala daerah tanpa mempertimbangkan kemampuan diri. Wajarlah kalau masih banyak kondisi daerah masih carut marut karena dipimpin oleh orang yang tidak kompeten.
Di sisi lain, warga yang tinggal di metropolitan tampak semakin skeptis dengan pilkada. Mereka 'malas' mencalonkan diri karena masih sibuk dengan dirinya sendiri, disamping juga sudah banyak kasus kepala daerah yang tertangkap tangan KPK membuat mereka semakin enggan untuk menjadi kepala daerah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H