Pada waktu SD dulu, kita para siswa diwajibkan untuk menabung di Tabanas alias Tabungan Pembangunan Nasional. Saat itu pencatatan masih manual, dan menyetorkan tabungan cukup di kantor pos. Hampir tiap minggu saya menabung sekitar Rp. 100 hingga Rp. 500 saat itu, mungkin sekarang nilainya setara Rp. 10.000 - Rp. 50.000.Â
Menabung selalu dianjurkan oleh para guru maupun orang tua karena pepatah 'hemat pangkal kaya'. Saya tidak pernah mencatat bunganya, tapi hasilnya lumayan besar saat mengambil tabungan di akhir tahun ajaran. Terakhir menabung hingga SMP, setelah itu buku tabungannya raib entah kemana bersama dana yang tersisa.
Zaman berubah cepat, tak sampai 20 tahun teknologi berkembang pesat, inflasi juga berlangung begitu cepat. Menabung konvensional dengan sekedar menaruh uang di bank tak lagi mendatangkan untung. Sebagai ilustrasi saja, menabung sekitar 60 Juta Rupiah saja bunganya cuma 50 Ribuan per bulan, alias cuma 0,08% x 12 bulan jadi sekitar 1% per tahun! Itu belum dipotong pajak atas bunga 10% dan biaya administrasi 12.500 Rupiah, jadi tersisa sekitar 32.500 Rupiah saja per bulan. Apalagi kalau menabung di bawah Rp. 10 Juta, lama kelamaan bisa habis karena dipotong pajak dan biaya administrasi.
Pernah salah satu tabungan saya biarkan sampai benar-benar nol Rupiah, bahkan ketika hendak menghidupkan kembali malah diminta untuk melunasi utang karena saldonya berkurang terus akibat terkena pemotongan biaya administrasi. Akhirnya saya urungkan niat untuk membuka kembali tabungan tersebut karena utangnya lebih besar daripada rencana memasukkan tabungan kembali. Menabung bukannya untung malah jadi buntung karena biaya ini itu yang kena debit langsung akibat sistem yang diciptakan secara elektronik membuat segala sesuatu perhitungan ditetapkan secara otomatis.
Tabungan di bank saat ini lebih banyak dipakai sebagai lalu lintas uang saja, mulai dari pembayaran gaji, pemotongan pajak, pembayaran tagihan, cicilan, transfer uang, uang elektronik dan sebagainya. Jadi bank hanya mengubah bentuk uang dari tunai menjadi non tunai yang dapat digunakan untuk berbagai macam transaksi yang dilakukan secara elektronik. Sekarang ini fasilitas bank juga mulai ditingkatkan seiring dengan peningkatan lalu lintas uang non tunai, seperti e-money, sms banking, internet banking, phone banking, atm non kartu, dan sebagainya.
Saat ini justru kredit yang menjadi andalan bank untuk meningkatkan pendapatan. Bunga kredit kisaran rata-rata 10-15 persen tentu sangat menggiurkan bila dibandingkan uang para penabung yang hanya diberi keuntungan maksimal 1% saja per tahun, paling banter untuk deposito hanya 5% per tahun. Alasan klasik yang dikemukan oleh bank biasanya karena peningkatan fasilitas bank, penambahan cabang dan pegawai serta counter ATM, biaya operasional jaringan dan sebagainya. Padahal setiap penabung sudah kena biaya administrasi yang seharusnya mampu mendukung pendanaan berbagai fasilitas tersebut.
Bank tidak lagi ramah pada kreditur, tapi lebih kencang menjaring debitur. Untuk menjadi penabung sekarang lebih banyak persyaratannya, termasuk harus punya NPWP, nomor telepon rumah, dan berbagai surat pernyataan seperti asal muasal uang, takut dikira pencucian uang, serta kena biaya adminstrasi, padahal kita mau menaruh uang lho. Sementara untuk berhutang justru relatif lebih mudah dan cepat, kalaupun syaratnya kurang bisa dipermak asal bisa dipertanggung jawabkan. Sungguh aneh tapi nyata!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H