Pro kontra mengenai keberadaan becak kembali memanas setelah pernyataan Gubernur DKI Jakarta yang mewacanakan becak kembali beroperasi di Jakarta. Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai perlu tidaknya becak beroperasi di Jakarta, mari kita renungkan kembali pada apa yang terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari.
Saat becak pertama kali dihilangkan saya masih duduk di bangku kelas 3 SMA di Jakarta. Waktu itu becak digantikan oleh mikrolet dan ojek pangkalan yang masuk ke perkampungan. Saya merasa kehilangan becak karena mikrolet dan ojek tidak serta merta bisa menggantikan peran becak. Mikrolet punya jalur tertentu dan tidak bisa seenaknya keluar jalur, apalagi melalui gang sempit. Sementara ojek walau mampu melewati gang kecil namun hanya bisa diisi satu orang. Jadi kalau berdua, misal dengan pacar, harus menggunakan dua ojek, padahal kalau naik becak bisa sebangku.
Becak juga bebas polusi dan tidak menggunakan bahan bakar minyak serta anti panas karena ada tudungnya. Selain itu ongkos becak juga jauh lebih murah daripada ojek, kalau dulu ongkos becak bisa 500 Rupiah, ojek sudah 1000 Rupiah, sementara angkot atau metro mini masih 100 Rupiah untuk pelajar. Becak bisa diisi dua orang atau barang ukuran besar, sementara ojek hanya satu orang dan barang bawaan ukuran kecil. Jadi becak sebenarnya masih diperlukan untuk mengisi kekosongan jalur angkot dan ojek yang terlalu mahal.
 Tapi menurut sebagian orang becak tidak manusiawi karena menggunakan tenaga manusia untuk menghelanya, walau menurut saya alasan tersebut setengah mengada-ada, karena di daerah lain juga masih banyak becak beroperasi dan semua berjalan baik-baik saja. Mungkin lebih karena tidak elok saja dipandang mata, apalagi bila beroperasi di jalan protokol, kan malu dilihat orang luar kalau masih ada angkutan tenaga manusia di jalan raya.
Bagi orang Indonesia yang malas jalan kaki, becak masih diperlukan untuk menjembatani angkutan dari depan rumah menuju halte terdekat. Jadi becak dibatasi ruang geraknya di area permukiman penduduk seperti kompleks perumahan untuk mengakomodasi ibu-ibu belanja mingguan yang sulit diangkut ojek barang bawaannya dan malas menenteng belanjaan. Tidak perlu becak tampil di jalan raya apalagi jalan protokol, selain memalukan juga menambah macet jalan karena ukurannya relatif lebar daripada motor.
Bagi wisatawan, becak juga bisa menjadi ikon angkutan umum jaman dulu. Oleh karena itu keberadaan becak bisa dilokalisir dekat dengan obyek wisata, seperti di kota tua, seputaran Monas (bukan di jalan Medan Merdeka), atau di dalam TMII, namun didesain ulang bentuknya agar menyesuaikan dengan fungsinya sebagai bagian dari peninggalan sejarah (heritage), bukan sebagai mata pencaharian atau angkutan umum semata.
Kembali ke wacana pengoperasian kembali becak oleh Gubernur DKI Jakarta, saya mendukung dengan catatan seperti cerita di atas, yaitu hanya boleh beroperasi di permukiman sebagai angkutan feeder, dan atau menjadi ikon wisata seperti di luar negeri. Di sini masih lumayan tukang becak menggenjot roda seperti sepeda, di Jepang malah menarik becak sambil berlari seperti kuda yang tentu sangat melelahkan dan tidak manusiawi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H