Kalau Anda lahir dan besar di zaman orde baru atau sebelumnya pasti mengenal istilah Litsus. Litsus atau singkatan dari Penelitian Khusus merupakan salah satu instrumen untuk menyaring orang-orang yang bebas dari pengaruh PKI dan Komunis saat itu. Setiap orang yang hendak menjadi PNS atau berhubungan dengan instansi pemerintah seperti pejabat negara (anggota DPR/D, Gubernur, Bupati/Walikota) wajib mengikuti Litsus.
Secara garis besar Litsus terbagi dua yaitu bersih diri dan bersih lingkungan. Bersih diri berarti diri pribadi kita bebas dari pengaruh ideologi komunis dan sejenisnya. Bersih Lingkungan artinya keluarga dekat mulai dari ayah-ibu hingga kakek nenek, saudara kandung seayah dan seibu atau saudara tiri, saudara ayah dan saudara ibu (paman/bibi/uak) dan tetangga dekat bebas dari pengaruh ideologi komunis  dan sejenisnya. Bersih diri belum tentu bersih lingkungan, demikian pula sebaliknya.
Seseorang baru dinyatakan lolos jadi PNS, apalagi jadi anggota ABRI (TNI/Polri) bila mengantungi surat bersih diri dan bersih lingkungan alias lolos litsus. Salah satu cacat sudah pasti tidak akan diterima, apalagi dua-duanya. Jadi boleh dibilang loyalitas PNS dan ABRI saat itu sangat tinggi kepada pemerintah yang berkuasa karena benar-benar sudah lolos dari lubang jarum, karena pengujinya tentara dan intel serta benar-benar ditelusuri asal muasal kita.
Orde baru tumbang, segala aturan yang dulu diberlakukan mulai dicabut satu persatu. Diawali dengan Penataran P4, lalu penghapusan pelajaran PMP hingga peniadaan litsus. Penerimaan PNS sudah tidak lagi seketat dulu (walau TNI/Polri masih cukup ketat) apalagi pejabat negara sehingga berbagai macam ideologi masuk ke dalam unsur pemerintahan. Akibatnya baru dirasakan beberapa tahun belakangan ini, polarisasi yang timbul sebagai dampak pilpres juga merasuk kalangan PNS.
Baru-baru ini kita mendengar atau membaca beberapa admin situs kementerian/lembaga ternyata ikut menebar hoax. Lalu ada juga PNS atau mantan PNS yang ikut hijrah ke luar negeri demi impian sebuah negeri baru sesuai ideologinya. Loyalitas tidak lagi ditujukan pada pemimpin negara atau daerah, tapi pada ideologi yang dianutnya. Lambat laun hal ini tentu akan menghambat jalannya roda pemerintahan karena salah satu bannya bocor dan sulit untuk ditambal.
Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan kembali mekanisme litsus terutama dalam penerimaan PNS baru dan calon pejabat negara. Hanya caranya saja perlu dipikirkan lebih lanjut, jangan sampai mematikan peluang orang untuk jadi PNS hanya gara-gara paman atau sepupunya berhalauan ekstrim, entah kiri atau kanan. Paling tidak diri sendiri harus benar-benar bersih, lalu lingkungan sekitarnya diteliti lebih lanjut keterkaitan dengan yang bersangkutan, apakah intens atau sekedar mengenal biasa saja.
Memang litsus bukan berarti aman karena bisa juga digunakan untuk membungkam lawan politik atau mencari-cari alasan untuk menghambat seseorang menjadi PNS atau pejabat negara, namun bukan berarti ditiadakan begitu saja. Perlu formulasi baru untuk mencegah masuknya ideologi di luar Pancasila ke dalam urusan pemerintahan agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang di kemudian hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H