Kota Lubuklinggau atau dikenal dengan sebutan Linggau saja terletak sekitar 300 Km dari kota Palembang dan dapat ditempuh sekitar 6-8 jam perjalanan darat. Kalau mau lebih santai lagi bisa menggunakan kereta api dari Stasiun Kertapati Palembang yang menempuh waktu sekitar 8 jam perjalanan juga, namun hanya ada pagi dan malam hari saja. Saya sendiri memilih naik travel karena berangkat siang hari dan lewat Sekayu yang tidak terlalu ramai dibanding lewat jalan utama melalui Lahat. Sebenarnya kota ini lebih dekat dijangkau dari Bengkulu yang hanya memerlukan waktu 3-4 jam saja, namun karena beda provinsi maka saya terpaksa harus berangkat dari Palembang.
Pemandangan Linggau dari atas Bukit (Dokpri)
Kota ini sendiri terletak di perbukitan sehingga suhu udaranya relatif tidak terlalu panas, mirip-mirip kota Bogor cuacanya. Linggau sendiri merupakan kota transit yang menghubungkan Kota Bengkulu dengan Kota Palembang, serta Kabupaten Kerinci ke arah Sumatera Barat (jalur Palembang ke Padang), jadi posisinya sebenarnya sangat strategis. Hal ini ditandai dengan ramainya truk pengangkut barang lalu lalang melintasi jalan lingkar Linggau sehingga kalau membawa kendaraan sendiri harap bersabar untuk menyalip.
Penanda Kota Lubuklinggau (Dokpri)
Jalan Menuju Ke Atas Bukit Sulap (Dokpri)
Walaupun dikelilingi perkebunan, disini tidak banyak obyek
wisata yang bisa dikunjungi. Salah satu yang menarik adalah
Bukit Sulap yang terletak tak jauh dari alun-alun dan Masjid Agung Lubuklinggau. Konon katanya dinamai Bukit Sulap karena kalau pagi hari tidak tampak, namun siang atau sore hari bisa kembali terlihat. Padahal sebenarnya
bukit ini tidak terlihat karena tertutup kabut tebal mengingat posisi kotanya di kaki bukit.
Masjid Agung Lubuklinggau (Dokpri)
Setelah Sholat Jumat di Masjid Agung, saya diajak kolega untuk bersantai sejenak ke Bukit Sulap sebelum berangkat kembali ke Palembang. Tak sampai 15 menit kami sudah tiba di puncak walau kondisi jalan agak sempit dan tidak begitu mulus kondisinya. Tampak bangunan di atasnya seperti masih baru dibangun, tanda bahwa Pemkot Lubuklinggau serius menggarap Bukit Sulap menjadi
landmark kota ini. Selain bangunan berupa restoran, penginapan, dan toko suvenir, terdapat
inclinator yang membawa kita ke atas bukit.
Inclinator yang Membawa Pengunjung ke atas Bukit (Dokpri)
Kita bisa menggunakan
inclinator alias kereta tunda untuk menaiki bukit yang cukup terjal dengan kemiringan lebih dari 45 derajat. Sayangnya saat hari kerja
 inclinator tidak dioperasikan sehingga saya tidak bisa naik ke puncak bukit. Bisa juga sih didaki secara alamiah, namun butuh waktu lebih dari satu jam untuk bisa tiba di atas bukit. Berhubung cuaca panas dan waktu yang sempit saya urungkan niat untuk mendaki dengan berjalan kaki. Tanpa perlu mendakipun, dari kaki Bukit Sulap sudah tampak Kota Lubuklinggau yang cukup padat dan berkembang. Kebetulan arahnya memang menghadap ke Kota Lubuklinggau jadi tak perlu harus mendaki sampai ke atas bukit.Â
Jalur Kereta Inclinator (Dokpri)
Berhubung hari kerja, suasana Bukit Sulap tidak terlalu ramai dan banyak toko tidak membuka lapaknya. Kita bisa bebas mengambil gambar tanpa terganggu pengunjung lainnya. Di sini juga ternyata masih berkeliaran monyet-monyet liar, sayangnya saya tidak sempat mengambil gambar karena gerakannya yang terlalu lincah berpindah tempat di tengah bukit yang masih tampak perawan ini.
Penginapan di Bukit Sulap (Dokpri)
Setelah hampir satu jam menikmati
pemandangan Linggau dari atas bukit, saya kembali ke kota untuk melanjutkan perjalanan ke Palembang dengan travel. Bagi yang bertugas ke Linggau dan sekitarnya, obyek wisata ini cukup direkomendasikan untuk melepas penat setelah berdinas seharian. Memang lebih enak berkunjung di pagi hari karena bukitnya menghadap ke arah timur untuk menanti
sunrise.
Selamat Jalan dari Bukit Sulap (Dokpri)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya