Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Masjid Niujie, Jejak Muslim di Beijing

3 Mei 2017   21:03 Diperbarui: 4 Mei 2017   10:50 2593
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beijing sebagai ibukota Tiongkok rupanya tidak hanya terkenal dengan Tiananmen Square atau Forbidden City saja, namun juga ada peninggalan lain yang tak kalah bersejarahnya. Salah satunya adalah Masjid Niujie yang berada di jantung kota Beijing dan merupakan masjid tertua yang dibangun di kota tersebut. Masjid ini menandai keberadaan kaum Muslim di Tiongkok khususnya Beijing sejak zaman dahulu kala. Menurut Wikipedia disini, konon masjid tersebut sudah berdiri sejak tahun 996 pada masa Dinasti Liao, sempat dihancurkan oleh Bangsa Mongol, kemudian dibangun kembali tahun 1443 pada masa Dinasti Ming.

Gerbang Utama Masjid Niujie (Dokpri)
Gerbang Utama Masjid Niujie (Dokpri)
Untuk mencapai masjid ini tidak terlalu mudah, karena letaknya agak jauh sekitar 800 meter dari stasiun subway terdekat Guanganmen Inner. Berhubung naik bis juga tanggung dan susah membaca nomornya, saya putuskan untuk berjalan kaki saja. Sebenarnya sudah cukup lelah juga mengingat pagi harinya saya berkeliling lapangan Tiananmen dan masuk menuju gerbang Forbidden City. Namun padatnya manusia mengantri tiket membuat saya urung masuk ke dalam Forbidden City. Sedikit menyesal memang, tapi keterbatasan waktu membuat saya harus mencari alternatif lain. Pilihan jatuh pada Masjid Niujie sambil menunggu penerbangan kembali ke Shanghai untuk menuju Jakarta.

Pintu Masuk Masjid Niujie (Dokpri)
Pintu Masuk Masjid Niujie (Dokpri)
Dari depan masjid sudah tampak bangunan tradisional khas Tiongkok, namun tidak tampak sama sekali aura masjid. Hanya ada huruf mandarin sebagai penanda masjid, tidak ada bahasa Inggris atau Arab tertera. Baru setelah masuk ke dalam, ada sebuah peta denah masjid besar yang dilengkapi dengan Bahasa Inggris sehingga kita tahu bahwa bangunan itu adalah masjid. Setiap turis yang masuk masjid wajib membayar 10 Yuan, namun karena sesama Muslim kita boleh langsung masuk ke dalam gratis.

Bangunan Utama Masjid (Dokpri)
Bangunan Utama Masjid (Dokpri)
Pintu Masuk Masjid Bagian Dalam (Dokpri)
Pintu Masuk Masjid Bagian Dalam (Dokpri)
Dari gerbang depan, tampak bangunan utama Masjid berada di sisi kiri, sementara tempat berwudhu ada di sisi kanan. Bangunannya tidak terlalu besar namun kental sekali aroma tradisional Tiongkok, persis masjid di Xi'an seperti diceritakan di sini. Di halaman masjid terdapat menara, dan di belakangnya terdapat aula serta makam pada imam masjid. Uniknya, disini juga terdapat masjid khusus wanita yang terletak di halaman belakang masjid. Jadi pria dan wanita benar-benar terpisah bangunan masjidnya, demikian pula aulanya.

Masjid Khusus Wanita (Dokpri)
Masjid Khusus Wanita (Dokpri)
Model tempat berwudhunya mirip seperti di Turki atau Malaysia, terdapat tempat duduk di depan pancuran. Sementara bangunan utama masjid terdiri dari dua ruangan yaitu ruangan sholat utama di dalam dan ruang tambahan untuk menaruh buku atau tas dan sandal di bagian belakang. Di depan ada ruang khusus imam dan mihrab yang agak tinggi di sisi kanan. Masjidnya sendiri tidak terlalu luas namun tampak penuh saat sholat berjamaah tiba. Maklum letaknya di tengah perkampungan Muslim jadi saat waktu shalat mereka segera memenuhi masjid tersebut.

Tempat Berwudhu (Dokpri)
Tempat Berwudhu (Dokpri)
Bagian Dalam Masjid (Dokpri)
Bagian Dalam Masjid (Dokpri)
Setelah menunaikan shalat dan berkeliling masjid, saya kembali ke stasiun subway. Di depan gerbang ada dua pengemis menanti kita dan berteriak shadaqah amal jariyah. Terserah kita apakah mau diabaikan atau memberi sumbangan secukupnya. Di sepanjang perjalanan terdapat beberapa rumah makan Muslim dan dijamin halal. Namun demi penghematan, saya hanya membeli beberapa buah gorengan saja sebagai pengganjal perut di salah satu warung di tepi jalan Niujie.

Makam Para Imam Masjid (Dokpri)
Makam Para Imam Masjid (Dokpri)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun