Seperti biasa, saat dinas ke Batam, saya selalu sempatkan diri untuk menyeberang, entah ke Singapura atau Malaysia. Kebetulan urusan dinas selesai sebelum jumatan, sehingga setelah sholat jumat dan makan siang, saya buru-buru ke Batam Center untuk mengambil kapal ferry ke Stulang Laut, Johor. Niatnya kali ini adalah menjelajah Semenanjung Malaysia bagian timur dalam dua hari, karena wilayah ini termasuk jarang dilalui oleh wisatawan kita, lebih banyak menjelajah lintas barat Malaysia yang memang lebih dikenal seperti Melaka, Penang dan tentunya KL itu sendiri.
Apalagi jalur lintas barat terdapat lebuhraya alias jalan tol Utara Selatan sehingga relatif lebih mudah dilalui ketimbang lintas timur yang masih tertinggal transportasinya. Rasa ingin tahu saya membuat trip ini lebih menantang karena masih jarang yang mengulas di internet dalam bahasa Indonesia.
Sayangnya karena dapat tiket pukul dua setengah siang, sampai di Stulang Laut sudah pukul lima sore. Sayapun segera ambil teksi untuk mengejar bas tujuan Kuantan yang terakhir. Malang, setiba di Larkin, tak ada lagi jadwal keberangkatan sore dan malam hari ke Kuantan. Ada juga pagi mulai pukul sembilan dan terakhir pukul tiga sore, lepas tu baru ada keesokan harinya. Calo calo mulai berdatangan mendekati dan menanyakan tujuan. Awalnya saya tolak dan langsung menuju kedai makan untuk makan malam dan sholat di musala lantai atas.
Namun karena sudah terlanjur tempah hotel di Kuantan, tak kuasa lagi terpaksa menyerahkan diri pada calo tadi. Aku pura-pura nak pesan tiket ke Kuantan, dan pastinya sudah tak ada lagi. Lalu calo di sebelah konter tiket menawari saya bis ke Kuantan, tapi pukul 10.30 malam dengan ongkos RM 50. Mahal kali pikirku, karena saat dicek di situs online rata-rata termahal cuma RM 35 saja. Sempat kutawar RM 40, tapi dia bersikukuh tak mau turun dengan alasan bisnya tujuan Terengganu. Ya sudahlah aku terima tawaran calo tadi dan harus menunggu hingga tiga jam lagi.
Tiga jam berlalu dan belum ada tanda-tanda bas datang. Tak lama kemudian sang calo menggiring semua calon penumpang tujuan Terengganu dan Kuantan ke satu tempat di luar terminal. Di sini juga ternyata masih harus menunggu sekitar 15 menit baru kemudian bas tampak dari kejauhan. Alangkah kagetnya saya karena ternyata yang digunakan adalah bas kampus sebuah universiti di negeri jiran. Sang calopun memaksa penumpang untuk naik ke dalam bas dan bagi yang membawa beg untuk dimasukkan ke dalam bagasi. Para penumpang awalnya bingung, namun setelah dijelaskan oleh si calo, baru mereka naik ke dalam bas.
Baspun melaju meninggalkan Larkin, dan setelah isi minyak sekejap di sebuah SPBU, dengan kecepatan tinggi mengarungi jalan dua lajur menuju Kuantan. Namun jalan besar tersebut hanya sampai di Kotatinggi, satu jam dari Johor Bahru (JB). Selepas itu jalan menyempit jadi satu lajur dua jalur hingga ke Pekan. Bas berhenti sejenak istirahat makan di Mersing, sebuah kota kecil tempat sandar ferry menuju pulau Tioman, salah satu destinasi wisata laut terkenal di Malaysia. Selesai istirahat selama setengah jam, bas kembali melaju melalui jalan sempit dan sedikit berkelok namun sepi, melewati kota-kota kecil sepanjang perjalanan selama total enam jam. Untungnya selama perjalanan tak ada razia polis sehingga bas aman damai melintas.
Pukul setengah lima akhirnya bas tiba di terminal baru Kuantan yang letaknya agak jauh dari pusat kota. Sebenarnya bisa saja turun di tepi jalan, namun karena tak ada ojek terpaksa ikut bas sampai ke terminal. Dari terminal, hanya ada seorang supir teksi gelap yang menunggu temannya sekaligus menawarkan saya tumpangan hingga ke kota. Saya terima tawarannya dan kamipun langsung meluncur di tengah hujan deras. Sambil mengemudi pemandu bertanya dari mana asal saya.
Saya jawab dari Indonesia, lalu dia tanya lagi nak kejekah? Taklah, melancong saja. Lalu dia cerita bahwa istrinya berasal dari Solo, dan hampir tiap tahun mudik lebaran ke sana. Keluhannya di Indonesia terlalu banyak kereta dan motosikal sehingga sering terjadi jem atau kesesakan jalan, apalagi saat lebaran. Kamipun ngobrol ngalor ngidul hingga tiba di pusat kota. Untungnya hotel tak jauh dari pusat kota, dekat sekali dengan tepi sungai Kuantan. Lagi-lagi saya cukup kaget karena dia meminta ongkos RM 40 (sekitar 140 Ribu Rupiah) padahal perjalanan tak sampai 20 menit saja dari terminal tadi. Daripada ribut akhirnya saya bayar juga sesuai permintaan.
Setelah istirahat sekejap, pagi hari saya berkeliling bandar Kuantan mulai dari tepi sungai hingga alun-alun kota. Sungainya sendiri cukup lebar, dan di hadapan terdapat bangkai kapal tenggelam di samping tulisan KUANTAN. Suasana tepi sungai tampak sepi, padahal hari itu adalah hari Sabtu yang juga merupakan hari libur. Di pusat bandar sendiri masih banyak terdapat bangunan tua yang dilestarikan, seperti pertokoan khas pecinan, kemudian alun-alun atau padang merdeka yang dikelilingi oleh masjid, kantor pemerintah, dan pusat perbelanjaan, persis seperti kota-kota di Jawa.
Cuaca sendiri cukup panas karena letaknya di muara sungai, namun udaranya relatif bersih dan nyaman bagi pejalan kaki. Setelah ronda-ronda selama hampir dua jam keliling kota, saya kembali ke hotel untuk mandi dan berkemas melanjutkan penjelajahan. Tepat pukul 12 siang saya naik bas di terminal stadion untuk menuju terminal bas antar kota tempat saya turun tadi. Setiba di terminal bas, saya langsung menuju konter bis tujuan Kota Bharu. Lagi-lagi saya harus ikut arahan calo karena setelah berkeliling, paling cepat bas berangkat pukul tiga sore. Sang calo ternyata berada di depan konter bas yang berangkat pukul 12.30 dan harganya hanya RM 35, sesuai dengan hasil pengecekan saya di internet. Kali ini saya naik bas resmi, bukan lagi bas sekolah seperti malam tadi.
Saya langsung menuju platform bas karena lima menit lagi akan berlepas. Tak lama setelah keluar kota Kuantan, bas memasuki jalan tol yang saat itu belum sepenuhnya jadi, namun hanya sekitar 15 Km bas keluar tol dan mengambil jalan biasa. Ternyata bas mengambil dan menurunkan penumpang di beberapa kota yang dilalui sepanjang lintas timur
semenanjung seperti Kemaman, Kijal, Kerteh, Dungun. Kondisi jalan masih satu lajur dua jalur, namun cukup ramai, dan di beberapa titik pemerintah Malaysia telah dan sedang melebarkan jalur tersebut menjadi dua lajur empat jalur.
Namun yang mencengangkan saya adalah ternyata markas besar sebuah perusahaan minyak negara ada di sepanjang lintas timur Malaya, selepas Kerteh, Paka hingga ke Dungun. Mulai dari pengilangan hingga pengolahan minyak sepertinya terdapat di sini, hampir sepanjang 10 Km lebih menghadap ke arah pantai. Wajar saja harga BBM murah di Malaysia, karena tampaknya mereka mengolah sendiri minyaknya (benar atau tidak wallahu alam, mungkin ada yang bisa koreksi) melihat dari besarnya lokasi pengilangan minyaknya.
Selepas Dungun, bas berhenti sekejap untuk istirahat sore sekaligus sholat. Setengah jam kemudian bas kembali berjalan menuju Kuala Terengganu. Jalan sejak dari Paka hingga ke Terengganu sudah dua lajur empat jalur, disertai pemandangan tepi pantai seperti di jalur Losarang atau Tuban, Pantura Jawa, namun kondisi lalu lintasnya tidak seramai pantura. Jam lima sore bas tiba di Kuala Terengganu, bandar (kota) terbesar kedua setelah Kuala Lumpur. Disini bas ngetem selama 15 menit dan kembali melanjutkan perjalanan hingga Kota Bharu. Di bandar ini nampak banyak sekali gedung pencakar langit, dan lalu lintasnya cukup padat, menunjukkan kegiatan ekonomi dan masyarakat yang cukup tinggi. Sayangnya belum sempat
eksplorasi lebih jauh mengingat waktu yang terbatas dan bas tidak berhenti lama.
Perjalanan pun dilanjutkan menuju destinasi akhir Kota Bharu, Negeri Kelantan. Negeri Terengganu dan Kelantan agak berbeda dengan negeri lainnya di Malaysia karena disini menerapkan syariah Islam, hampir mirip seperti di Aceh, namun tampaknya tidak terlalu ketat juga. Setelah tiga jam perjalanan dan mentari telah berganti bulan, haripun menjadi gelap sehingga agak sulit gambar, baspun tiba di terminal baru Kota Bharu. Sayapun ambil teksi untuk menuju pusat kota tempat lokasi hotel yang berada di sebelah terminal lama. Karena sudah malam, tidak banyak area yang saya jelajahi, namun cukup untuk menggambarkan kondisi bandar Kota Bharu secara umum.
Kondisi pusat bandar sendiri tidak terlalu ramai, dan masih banyak terdapat bangunan tua yang dilestarikan, termasuk hotel yang saya tempati. Agak miriplah suasananya dengan Garut atau Tasikmalaya di Jawa Barat. Dari hotel saya berkeliling menuju Padang Merdeka atau alun-alun kota yang kebetulan sedang ada bazaar atau pasar malam. Namun karena hujan mulai rintik-rintik, saya terpaksa buru- buru menuju arah hotel, dan pas tiba di depan hotel hujan turun dengan lebatnya. Sayapun hanya bisa menikmati makan malam di kedai dekat hotel untuk menghindari terpaan air hujan.
Esok subuh saya harus cek out dari hotel menuju lapangan terbang Sultan Ismail Petra yang terletak sekitar 5 Km dari pusat kota. Dengan menggunakan MAS saya terbang ke Kuala Lumpur, untuk selanjutnya kembali ke Batam. Namun karena salah perhitungan, saya terpaksa harus menambah ongkos bas dan teksi karena MAS mendarat di KLIA, sementara penerbangan menuju Batam menggunakan Malindo Air yang lepas landas dari Subang. Padahal ada penerbangan lain dari Kota Bharu langsung menuju Subang dengan harga yang lebih mahal sedikit, namun bila ditotal semua masih jauh lebih murah ketimbang harus melalui dua bandara yang letaknya berjauhan.
Penerbangan dari Kota Bharu ke KLIA hanya 45 menit saja, ditambah dari KLIA ke Subang melalui KL Sentral sekitar dua jam naik bas disambung MRT ke stasiun Kelana Jaya dan teksi menuju bandara Sultan Abdul Aziz Shah. Dari Subang menuju Batam mengambil masa sekitar satu jam terbang, transit sekitar lima jam di Batam sebelum kembali ke Jakarta.
Pelajaran yang dipetik dari perjalanan ini, upayakan tidak menggunakan calo kecuali terpaksa banget, dan selalu mencek harga tiket di internet untuk melihat tingkat kemahalan harga calo berbanding dengan harga normal. Selain itu, jangan terpengaruh harg tiket pesawat murah tanpa melihat tempat mendaratnya, walaupun masih dalam satu kota. Karena ini perjalanan pendek, hanya dua setengah hari saja, tentu tidak mungkin menjelajah secara penuh kota-kota yang dilalui, namun paling tidak kita sudah mengetahui situasi manakala suatu saat kelak hendak berkunjung ke salah satu kota yang dilewati. Dan setelah rasa ingin tahu terpuaskan, ternyata memang ada yang tersembunyi di lintas timur tersebut, yaitu terdapatnya markas besar sebuah perusahaan minyak ternama di negeri jiran tersebut yang membuat saya berdecak kagum, seandainya Pertamina bisa memiliki fasilitas seperti itu, mungkin kita tidak perlu lagi mengimpor minyak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya