Namun yang mencengangkan saya adalah ternyata markas besar sebuah perusahaan minyak negara ada di sepanjang lintas timur Malaya, selepas Kerteh, Paka hingga ke Dungun. Mulai dari pengilangan hingga pengolahan minyak sepertinya terdapat di sini, hampir sepanjang 10 Km lebih menghadap ke arah pantai. Wajar saja harga BBM murah di Malaysia, karena tampaknya mereka mengolah sendiri minyaknya (benar atau tidak wallahu alam, mungkin ada yang bisa koreksi) melihat dari besarnya lokasi pengilangan minyaknya.
Selepas Dungun, bas berhenti sekejap untuk istirahat sore sekaligus sholat. Setengah jam kemudian bas kembali berjalan menuju Kuala Terengganu. Jalan sejak dari Paka hingga ke Terengganu sudah dua lajur empat jalur, disertai pemandangan tepi pantai seperti di jalur Losarang atau Tuban, Pantura Jawa, namun kondisi lalu lintasnya tidak seramai pantura. Jam lima sore bas tiba di Kuala Terengganu, bandar (kota) terbesar kedua setelah Kuala Lumpur. Disini bas ngetem selama 15 menit dan kembali melanjutkan perjalanan hingga Kota Bharu. Di bandar ini nampak banyak sekali gedung pencakar langit, dan lalu lintasnya cukup padat, menunjukkan kegiatan ekonomi dan masyarakat yang cukup tinggi. Sayangnya belum sempat
eksplorasi lebih jauh mengingat waktu yang terbatas dan bas tidak berhenti lama.
Perjalanan pun dilanjutkan menuju destinasi akhir Kota Bharu, Negeri Kelantan. Negeri Terengganu dan Kelantan agak berbeda dengan negeri lainnya di Malaysia karena disini menerapkan syariah Islam, hampir mirip seperti di Aceh, namun tampaknya tidak terlalu ketat juga. Setelah tiga jam perjalanan dan mentari telah berganti bulan, haripun menjadi gelap sehingga agak sulit gambar, baspun tiba di terminal baru Kota Bharu. Sayapun ambil teksi untuk menuju pusat kota tempat lokasi hotel yang berada di sebelah terminal lama. Karena sudah malam, tidak banyak area yang saya jelajahi, namun cukup untuk menggambarkan kondisi bandar Kota Bharu secara umum.
Kondisi pusat bandar sendiri tidak terlalu ramai, dan masih banyak terdapat bangunan tua yang dilestarikan, termasuk hotel yang saya tempati. Agak miriplah suasananya dengan Garut atau Tasikmalaya di Jawa Barat. Dari hotel saya berkeliling menuju Padang Merdeka atau alun-alun kota yang kebetulan sedang ada bazaar atau pasar malam. Namun karena hujan mulai rintik-rintik, saya terpaksa buru- buru menuju arah hotel, dan pas tiba di depan hotel hujan turun dengan lebatnya. Sayapun hanya bisa menikmati makan malam di kedai dekat hotel untuk menghindari terpaan air hujan.
Esok subuh saya harus cek out dari hotel menuju lapangan terbang Sultan Ismail Petra yang terletak sekitar 5 Km dari pusat kota. Dengan menggunakan MAS saya terbang ke Kuala Lumpur, untuk selanjutnya kembali ke Batam. Namun karena salah perhitungan, saya terpaksa harus menambah ongkos bas dan teksi karena MAS mendarat di KLIA, sementara penerbangan menuju Batam menggunakan Malindo Air yang lepas landas dari Subang. Padahal ada penerbangan lain dari Kota Bharu langsung menuju Subang dengan harga yang lebih mahal sedikit, namun bila ditotal semua masih jauh lebih murah ketimbang harus melalui dua bandara yang letaknya berjauhan.
Penerbangan dari Kota Bharu ke KLIA hanya 45 menit saja, ditambah dari KLIA ke Subang melalui KL Sentral sekitar dua jam naik bas disambung MRT ke stasiun Kelana Jaya dan teksi menuju bandara Sultan Abdul Aziz Shah. Dari Subang menuju Batam mengambil masa sekitar satu jam terbang, transit sekitar lima jam di Batam sebelum kembali ke Jakarta.
Pelajaran yang dipetik dari perjalanan ini, upayakan tidak menggunakan calo kecuali terpaksa banget, dan selalu mencek harga tiket di internet untuk melihat tingkat kemahalan harga calo berbanding dengan harga normal. Selain itu, jangan terpengaruh harg tiket pesawat murah tanpa melihat tempat mendaratnya, walaupun masih dalam satu kota. Karena ini perjalanan pendek, hanya dua setengah hari saja, tentu tidak mungkin menjelajah secara penuh kota-kota yang dilalui, namun paling tidak kita sudah mengetahui situasi manakala suatu saat kelak hendak berkunjung ke salah satu kota yang dilewati. Dan setelah rasa ingin tahu terpuaskan, ternyata memang ada yang tersembunyi di lintas timur tersebut, yaitu terdapatnya markas besar sebuah perusahaan minyak ternama di negeri jiran tersebut yang membuat saya berdecak kagum, seandainya Pertamina bisa memiliki fasilitas seperti itu, mungkin kita tidak perlu lagi mengimpor minyak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya