Bila kita hidup di era 80 - 90 an, tentu pernah mengalami masa-masa dimana siskamling dan kerja bakti berjaya pada saat itu. Siskamling atau sistem keamanan lingkungan adalah suatu tugas pengamanan lingkungan yang dilakukan secara swadaya oleh masyarakat setempat, tentunya berkoordinasi dengan aparat keamanan dan pemerintah daerah.
Sementara kerja bakti adalah pembangunan dan atau pemeliharaan lingkungan dan fasilitas atau sarana umum, juga secara swadaya oleh masyarakat setempat, seperti misalnya membersihkan gorong-gorong di lingkungan tempat kita tinggal, atau memperbaiki jalan yang rusak secara bersama-sama tanpa pamrih dan modal sendiri. Itu terjadi karena lingkungannya masih relatif homogen dan ketimpangan tidak terlalu nampak, sehingga semangat gotong royong masih membara.
Namun seiring dengan kemajuan zaman, dimana hidup semakin materialis dan individualis, pola-pola seperti siskamling dan kerja bakti mulai ditinggalkan. Tumbuhnya perumahan-perumahan baru membuat lingkungan semakin heterogen dengan berbagai karakter manusianya yang beragam, bahkan terkadang bertolak belakang. Taraf hidup yang semakin meningkat juga menyebabkan segalanya hampir selalu dikaitkan dengan uang. Siskamling telah digantikan pagar-pagar tinggi yang memisahkan kehidupan si kaya dan si miskin, ditongkrongi satpam dengan pandangan curiga yang berlebihan. Kerja bakti juga telah digantikan dengan tukang sindang atau petugas kebersihan, cukup dengan mengeluarkan uang untuk membayar mereka. Ada uang, semua urusan beres.
Padahal sejatinya siskamling dan kerja bakti bukan sekedar menjaga keamanan atau menanggung bersama pemeliharaan lingkungan secara swadaya, tetapi juga ajang saling mengenal dan mengakrabkan diri satu dengan lainnya sesama tetangga rumah. Dengan adanya siskamling atau kerja bakti, kita bisa mengenal tetangga kiri kanan depan belakang dengan baik.
Kalau ada orang baru, pasti harus memperkenalkan diri dulu dengan syukuran rumah baru agar dikenal warga setempat. Rasa empati dan saling peduli di antara warga tumbuh sejalan dengan pelaksanaan kegiatan siskamling dan kerja bakti yang dilakukan secara rutin. Kita jadi tahu si A kerja dimana, si B pernah sakit apa, si C mantan napi yang insaf, dan sebagainya.
Dengan semakin ditinggalkannya pola siskamling dan kerja bakti, kepedulian warga semakin berkurang. Kita kadang tidak pernah tahu siapa tetangga sebelah rumah kita, depan belakang kiri kanan kita. Hal inilah yang dimanfaatkan oleh segelintir orang yang mempunyai niat jahat (seperti teroris, narkoba, dsb.) tumbuh di sela-sela rasa cuek kita terhadap tetangga.
Mereka dengan leluasa bergerak dan merencanakan serta melaksanakan aksinya tanpa disadari oleh tetangga kiri kanannya. Kita baru sadar ketika serombongan aparat keamanan tiba-tiba parkir di depan halaman rumah kita, menggerebek rumah sebelah untuk menciduk pelaku kejahatan. Kita hanya bisa terkaget-kaget melihat kejadian yang begitu cepat tersebut, dan masih untung bila tidak ikut diseret menjadi saksi di kantor polisi atau pengadilan.
Oleh karena itu, momen usaha pemboman teroris tempo hari hendaknya menyadarkan kita untuk kembali membangun semangat gotong royong di lingkungan rumah dan sekitarnya. Kepedulian warga dalam suatu lingkungan akan mempersempit gerak orang-orang yang berniat jahat karena akan cepat terdeteksi keberadaannya.
Mengandalkan aparat keamanan semata tidaklah cukup karena keterbatasan jumlah aparat serta banyaknya kasus yang harus ditangani. Semangat gotong royong yang diwujudkan dalam bentuk siskamling maupun kerja bakti perlu dihidupkan kembali agar kebersamaan yang telah hilang dapat tumbuh kembali dalam kerangka Bhinneka Tunggal Ika.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H