Suasana Sebuah Stasiun MRT di Singapura (Kolpri)
Saya termasuk orang yang penasaran kenapa negara kecil seperti Singapura dan Hongkong bisa jauh lebih maju perekonomiannya daripada negara besar seperti negeri kita, padahal kedua kota tersebut tidak memiliki sumberdaya apapun, hanya SDM dan faktor lokasi yang strategis saja karena berada di titik pertemuan arus perdagangan dunia di Asia. Penasaran tersebut mulai terjawab ketika saya berkesempatan mengunjungi kedua negeri tersebut beberapa waktu lalu.
Satu hal yang membuat saya sedikit kaget begitu mengijakkan kaki di Singapura maupun di Hongkong adalah langkah kaki masyarakat setempat yang begitu cepat saat keluar dari ruang imigrasi hingga menuju stasiun MRT atau MTR. Begitu pula ketika keluar kereta komuter, para penumpang langsung bergerak cepat menuju ke eskalator sambil tetap berjalan cepat hingga ke lantai atas, demikian pula sebaliknya. Langkah kaki mereka begitu cepat sehingga nyaris tak terkejar oleh saya. Peribahasa waktu adalah uang seperti mendapatkan pembenaran di sini.
Pengalaman naik MRT di Singapura atau MTR di Hongkong sangat terasa betapa kecepatan langkah kaki menentukan ketepatan waktu. Pintu kereta komuter hanya terbuka selama kurang dari 10 detik untuk keluar dan masuk penumpang. Telat sepersekian detik saja kaki melangkah, kereta langsung menutup pintunya dan melesat pergi meninggalkan kita. Akhirnya kita harus menunggu sekitar 3-5 menit berikutnya akibat terlambatnya langkah kaki beberapa detik saja. Bila setiap stasiun terlambat sekitar 3 menit saja, bisa dibayangkan berapa lama keterlambatan akibat berpindah MRT atau MTR menuju jurusan lain di stasiun berikutnya. Lagipula jarak antara pintu stasiun dengan platform kereta cukup jauh sehingga langkah kaki harus lebih cepat lagi agar tidak ketinggalan kereta.
Rupanya jalan cepat tersebut mencerminkan kecepatan berpikir dan bertindak. Mereka seperti sudah tahu kemana melangkahkan kaki sehingga tidak perlu lagi bertanya kesana kemari sebelum memutuskan naik ke dalam kereta. Mereka seperti sudah merencanakan rute kepergian, menggunakan moda apa, dan kapan waktu berangkatnya, sejak dari rumah atau apartemen, sehingga saat dalam perjalanan tidak perlu banyak bertanya lagi tapi langsung bertindak menaiki moda transportasi yang telah dipilih, apakah bus atau kereta komuter. Dari cara berjalan saja kita sudah bisa membaca bahwa mereka fokus pada tujuan, tidak bertele-tele, straight to the point. Saya pernah iseng menanyakan rute ke suatu tempat pada seorang pejalan cepat, dijawab hanya dengan menunjuk ke mesin pembayaran tiket otomatis dan disuruh lihat rutenya disitu. Setelah itu orang tersebut pergi dengan langkah cepatnya meninggalkan saya yang masih terbengong-bengong memahami jawabannya. Untunglah saya selalu bawa tab sehingga terpaksa mencari jawaban sendiri lewat google maps.
Pelajaran yang kita peroleh, kalau mau maju hargailah ketepatan waktu dengan berjalan cepat sehingga tidak terlambat tiba di stasiun dan tidak ketinggalan kereta. Desain kota baik di Singapura maupun Hongkong seperti disusun untuk pejalan kaki karena jarak antara suatu pusat kegiatan dengan stasiun kereta atau halte bis lumayan jauh, begitu pula jarak antara pintu utama stasiun dengan jalur kereta di bawahnya juga cukup jauh. Apalagi bis di sini tidak berhenti sembarangan sehingga memaksa kita untuk lebih rajin berjalan kaki. Oleh karena itu, paling tidak setelah MRT di Jakarta siap dipergunakan, mulailah kita biasakan berjalan cepat demi menghargai waktu yang tak akan kembali. Tanpa kecepatan kita akan semakin terlindas oleh bangsa lain dalam persaingan global saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H