[caption id="attachment_399149" align="aligncenter" width="252" caption="Kilometer Nol Philipina (kolpri)"][/caption]
Pertama kali mendarat di Manila, kepala langsung geleng-geleng. Betapa tidak, parkir pesawat tidak lagi paralel seperti sering kita lihat di Soetta atau bandara internasional lainnya, tapi berbaris seperti bis di terminal Kampung Rambutan. Masuk imigrasi, ditanya-tanya pekerjaan segala, mana minta ditunjukkan ID card pegawai lagi, padahal sudah jelas di kartu imigrasi tertulis vacation alias liburan. Sudah begitu cuma didata doang, ga ada peninggalan cap sama sekali. Sempat kuatir juga kalau tiba-tiba ditanya pas keluar nanti, tapi biarlah tinggal dijawab aja petugasnya kelupaan mencap. Berhubung keluar di terminal 4, kondisinya lebih parah dari Bandara Husein Sastranegara, sangat darurat dan hanya terdapat dua konter imigrasi saja.
[caption id="attachment_399137" align="aligncenter" width="448" caption="Antrian Pesawat Seperti Bis (Kolpri)"]
Seperti dibaca di blog sebelum berangkat, stoplah taksi di luar bandara supaya dapat murah. Benar saja, setelah menukar uang dengan makan malam di resto cepat saji, ongkos dari bandara ke Ermita tempat saya menginap cuma 130 PHP saja, digenapkan jadi 200 PHP karena ga ada kembalian. Jauh lebih murah kalau naik taksi resmi dari bandara sebesar 350 PHP. Saya memilih menginap di daerah Ermita karena dekat dengan Rizal Park dan Intramuros, landmark-nya Kota Manila. Di Rizal Park terdapat miniatur pulau-pulau Philipina seperti di TMII. Tapi tetap saja Monas jauh lebih besar dan megah ketimbang taman Rizal yang menjadi ikon wisata Manila. Sebenarnya serba tanggung sih mau jalan kaki atau naik tricycle, semacam bentor untuk menuju Intramuros, namun karena takut tertipu, mending jalan kaki biar tetap sehat.
[caption id="attachment_399138" align="aligncenter" width="448" caption="Miniatur Philipina (kolpri)"]
[caption id="attachment_399148" align="aligncenter" width="448" caption="Rizal Monument yang Dijaga Dua Tentara (Kolpri)"]
Setelah berjalan kaki dari Rizal Park selama 15 menit ke arah utara, sampailah saya di gerbang Intramuros. Mirip-miriplah dengan Jokteng di Jogja, dimana dulunya merupakan kota di dalam benteng. Bedanya, disini tembok bentengnya masih utuh dan tidak boleh dibangun apapun di tepi benteng. Di dalam benteng tersebut terdapat bangunan-bangunan tua seperti gereja dan perkantoran yang masih tetap dipertahankan bentuknya. Sementara di ujung benteng terdapat Fort Santiago yang merupakan pos penjagaan tentara Spanyol di tepi sungai Pasig. Untuk masuk ke dalam Fort Santiago kita harus bayar 75 PHP alias 23 Ribu Rupiah saja. Di dalam terdapat jejak kaki Jose Rizal menjelang pelaksanaan eksekusi. Tidak ada yang terlalu istimewa di seputaran Rizal Park dan Intramuros kecuali bangunan bersejarah dan patung-patung para pahlawan Filipina. Hanya di Rizal Monument dijaga ketat oleh dua orang tentara dan tidak boleh mendekat ke tepi tugu.
[caption id="attachment_399140" align="aligncenter" width="448" caption="Gerbang Intramuros (Kolpri)"]
[caption id="attachment_399141" align="aligncenter" width="448" caption="Gereja Katedral Manila (kolpri)"]
Kejadian seru justru saat hendak sholat Jumat di Golden Mosque. Kalau lihat di peta sih jaraknya sekitar 2,3 Km dari hotel, tapi karena panas dan ga tahu rute angkot serta takut ditipu ojek, terpaksa saya jalan kaki hampir sepanjang 2 Km. Tapi karena terlanjur lelah dan azan sudah terdengar, terpaksa saya stop tricycle yang sedang lewat. Untungnya mau ditawar dari 90 menjadi 60 PHP alias 19 Ribu Rupiah. Ternyata dari tempat naik tricycle ke masjid tidak terlalu jauh, dan rupanya masjid tersebut terletak di Quiapo yang merupakan terminal Jeepney, padahal di depan hotel banyak Jeepney jurusan Quiapo lewat. Quiapo sendiri merupakan perkampungan Muslim di Manila sekaligus pusat perdagangan seperti di Senen. Di sini juga bisa cari oleh-oleh asal bisa nawar karena harganya relatif murah dibandingkan di Mall of Asia.
[caption id="attachment_399142" align="aligncenter" width="448" caption="Golden Mosque (kolpri)"]