Mohon tunggu...
Dewi Aryati
Dewi Aryati Mohon Tunggu... -

A civil engineering graduate who loves to write anything, read anything interest her, and... swimming.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Lelaki Botak Itu

16 Desember 2010   03:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:41 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kali ini objeknya lelaki. Dia duduk sembari menunggu bis angkutan karyawan di halte kompleks rumahnya. Masih pagi. Kulirik jam tangan seorang pria di sampingku, 6:27. Kurang lebih 3 menit lagi, bis dengan muatan maksimum 55 orang akan muncul dari ujung jalan itu. Lima , empat, tiga, yap… benar saja, bis itu muncul. Dia, objek yang kumaksud, masih duduk di sana tak bergeming, seakan 100% yakin bahwa bis yang baru saja datang itu bukan bis yang ia nanti sejak 15 menit lalu. Kalau boleh mmenerka, usianya sekitar 35 tahun, setengah dari kepalanya tak lagi di tumbuhi rambut, perawakan jawa tapi tampang china. Kudengar dari ceritanya ia memiliki keluarga kecil di Jakarta , sedikit sedih ketika bercerita karena anak-istrinya tak mau ikut ke kota terpencil ini karena daerah ini sepi. Kasihan, maka semakin sepilah hidup Roi, namanya Roi.

Semua orang yang menunggu di halte telah naik ke bis. Kini dia tertinggal sendiri masih dengan gaya yang sama, tampak tak acuh dengan kaki kiri ditopang oleh lutut kanannya sembari membaca buku. Hari ini beda. Biasanya Roi memang naik bis yang ke-dua, masalahnya pagi ini bis ke-duapun telah berangkat 30 menit lalu, dan yakin saja takkan ada lagi bis karyawan yang akan lewat sampai pukul 4 sore untuk mengantar karyawan pulang. Padahal kalaupun ia ketinggalan bis dia bisa menggunakan mobil pribadi yang ada di rumahnya untuk berangkat ke kantor tepat waktu jika ia mau. Ia tampak risau, menutup buku kemudian melihat ke jam tangannya, 08:09, sedikit kecewa tergambar jelas dari matanya. Menunggu. Masih menunggu. Dia masih di sana terduduk dengan posisi yang berbeda, sedikit lelah tampaknya. Sudah lelah pula aku disini mengobservasinya sejak 3 jam tadi dari balik semak di belakang halte, sekitar sepuluh meter di samping kirinya.

‘Trrrrrrrrrt’ telepon genggamku bergetar arrghh…….. Kutekan tombol hijau tanpa mengeluarkan suara karena takut kedengaran olehnya, objek yang sedari tadi kuamati. Roi seakan sadar tengah diamati, ia berbalik ke arahku, tepat ke arahku, menatapku, maka matilah aku. Masih tak bergeming dengan telepon genggam tengah ku pegang di telinga kiriku. Roi akhirnya berbalik kembali ke posisi awalnya seperti semula. Baru saja kuingat, matanya minus 3, baru kali ini aku merasa tertolong dengan kecacatan orang lain. “ Lakukan sekarang… kumohon, jangan membuatnya menunggu lebih lama…” ujar suara dari telepon genggamku. “Maafkan aku, aku tak sanggup…” keluhku, “Tolong… please…… bantu aku…” terdengar si pemilik suara mulai terisak. Kutekan tombol merah telepon genggamku.

Kini aku berdiri tepat di hadapan Roi. Dia bersikap seolah tak melihatku, wajar saja… dia memang tak mengenalku. “Aku Maura” kataku mengulurkan tangan kananku. Dia menyambut tanganku dengan tampang sangat keheranan. “Roi” katanya datar. “Aku membawa titipan untukmu” sembari mengeluarkan secarik kertas tanpa amplop dari kantongku. “Tapi kau boleh membacanya setelah aku pergi” ucapku disambut anggukan cepat darinya, seakan ia yakin bahwa titipan itu memang dari orang yang sedari tadi ia tunggu. Kupanggil ojek yang sejak tadi menunggu tumpangan di depan gardu listrik tak jauh dari situ. Aku pergi. Tapi tak jauh karena aku harus mencari posisi yang aman lagi untuk mengobservasi Roi. Kembali ke semak-semak tadi akhirnya.

Tercengang, ia menangis kurasa, pastilah perih, ia berlari sekencang-kencangnya, sepertinya ke arah rumahnya, dan sepucuk surat yang tadi dititipkan oleh seorang teman lama yang kini telah berbeda statusnya. Aku keluar dari tempat persembunyianku. Meraih kertas tersebut…

Dear My Lovely Roi…

Maafkan aku yang tak pernah sanggup untuk mengatakan ini padamu… Sebenarnya, sejak kemarin pagi aku sudah yakin kalau pagi ini takkan menemuimu di halte bis untuk bercengkrama seperti biasanya. Sudah yakin kalau pagi ini aku takkan duduk di sampingmu di dalam bis. Sudah yakin kalau kau masih menungguiku di halte bis meski aku tak datang hingga sore menjelang lalu berganti pagi esoknya. Maafkan aku karena mulai minggu ini aku takkan lagi bertandang ke rumahmu di jumat malam hingga minggu sore. Maafkan aku…

Karena hari ini, aku harus pergi… Ke tempat yang jauh darimu… menjauh darimu bukan karena inginku, tetapi karena cintaku. Aku takkan sanggup untuk menyakiti hati istri dan anakmu ketika mereka tahu tentang hubungan ini. Kau sangat tahu betapa sensitifnya perasaanku ini. Maafkan aku… Aku harus pergi. Aku telah resign seminggu yang lalu. Dan tolong… jangan cari aku. Karena kau akan selaludi hatikutetapi bukan untukku.

Your Love,

Ronni

Kusimpan surat Ronni dalam kantongku, yah mungkin bisa di pakai untuk menjiplak kata-katanya pada project dan objek berikutnya. Maklum, ini project pertamaku… selama ini aku hanya menjadi penulis skenario saja, tapi kali ini harus turun tangan langsung sebagai figuran karena kondisi yang tidak memungkinkan. Hanya memastikan Roi tak bunuh diri di tempat karena depresi. Kuraih telepon genggamku “Ron, keluar dari tempatmu… jemput aku di halte”. Suzuku APV hitam muncul dari ujung jalan. Aku naik dan duduk di depan, di samping Ronni.

“Bagaimana ekspresinya?” tanya Ronni sedikit takut.

“Frustasi lah… sudahlah sayang, dia gak bakalan berani ngelaporin kamu ke polisi… orang dia sayang banget ke kamu… Habis kita balikin mobil ini ke rental kita langsung berangkat lewat darat nebeng mobil Via. Okeh?! Lagian ini kan bukan misi pertama kamu, mestinya aku dong yang grogi….” kataku mencoba menenangkan.

“Ra… aku mau ngomong sesuatu ke kamu…” katanya sedikit gugup.

“Iya… ngomong aja sayang… kamu mau apa? Mobil baru? Rumah baru? Tenang… uang Roi masih ke-save penuh kok…” kataku tersenyum.

“Aku mau putus….” sedikit terbata, pelan tapi pasti dan aku pasti tak salah dengar.

“Tapi kenapa Ron?” kini berganti aku yang terbata…

“Aku mulai mencintai Roi… dan akan selalu menjaga cintanya di hatiku seperti kutuliskan di surat itu. Maafkan aku Ra…”

Semua tampak seperti fatamorgana, pandanganku kini terhalang oleh butiran yang mulai membanjiri mataku… Pening.

September 3rd, 2009

Maintenance System Office, PTI

..ketika yang lain tengah sibuk d/ equipmet number..

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun