Guru merupakan tonggak penting keberhasilan pendidikan. Guru pulalah  yang menentukan generasi penerus bangsa memiliki kompetensi untuk menghadapi tantangan dalam hidupnya. Maju mundurnya pendidikan suatu bangsa ditentukan oleh kualitas guru. Apa yang ditanamkan oleh guru, itu pula yang akan kita dapati pada sosok anak-anak bangsa.
"Ada empat tipe guru. Pertama, guru yang hanya bisa memindahkan informasi dari buku ke peserta didik. Kedua, guru yang bisa menjelaskan sebuah masalah atau buku ajar. Ketiga, guru yang bisa menunjukkan materi ajar dengan baik. Keempat, paling ideal, adalah guru yang bisa menjadi inspirasi bagi muridnya". (Hu Wen Chiang, pakar pendidikan dari Taiwan).
Melihat kondisi bangsa Indonesia saat ini, yang dibutuhkan adalah guru yang dapat menginspirasi. Guru yang mampu memanamkan optimisme dan nilai-nilai luhur kepada peserta didik. Namun tidak semua guru yang bisa menjadi guru menginspirasi. Ada guru yang hanya memindahkan materi dari buku (transfer of knowledge) kepada siswa.
Ketika siswa ditanya tentang ciri-ciri guru inspiratif, jawaban mereka adalah guru yang memotivasi, menyemangati, mau berbagi, tidak kenal lelah, dan sabar. Untuk menjadi mampu menginspirasi, seorang guru harus banyak membaca buku sebagai gudang ilmu. Agar banyak hal pula yang dapat dibagi kepada peserta didik. Guru juga dapat berbagi tentang hikmah, pengalaman, perjuangan, dan kisah hidupnya maupun dari kisah hidup orang lain. Seperti kata pepatah Minangkabau, alam takambang jadi guru. Bahwa alam semesta adalah guru tempat kita belajar. Kita bisa mengambil hikmah dari mana saja. Sebab hikmah adalah barang yang hilang milik orang yang beriman. Di mana saja ia menemukannya, maka ambillah. ( Hadist Rasulullah)
Menjadi guru inspiratif tidak dibatasi pada usia dan masa pengabdian. Sebutan guru inspiratif tidak hanya tertuju guru senior. Guru muda pun bisa menjadi guru inspiratif. Menjadi guru bukanlah tentang lama atau baru waktu mengajar. Tapi untuk siapa yang mampu menginspirasi ilmu.
Sosok guru inspriratif adalah seperti guru Muslimah dalam novel Laskar Pelangi. Seorang guru yang sangat mengkawatirkan keberlangsungan pendidikan. Kekhawatiran terhadap sekolah yang terancam tutup karena kekurangan siswa. Seorang guru yang menerima apa adanya kondisi siswa. Tidak membeda-bedakan bagaimana keadaan dan kemampuan siswa. Guru Muslimah tetap menerima Harun, seorang siswa yang berkebutuhan khusus dan membutuhkan kesabaran dalam mendidiknya. Tidak rendah diri meskipun kalah pintar dengan Lintang. Mau menerima anak-anak miskin di Belitong dengan sebuah tanggungjawab bahwa pendidikan (dan sekolah) adalah hak setiap anak. Guru Muslimah adalah guru yang bisa membangkitkan optimisme siswa. Mampu mengubah keterbatasan fasilitas sekolah yang apa adanya menjadi prestasi.
Begitu pula dengan sosok fenomenal Een Sukaesih, seorang guru yang lumpuh namun tidak menjadi penghalang untuk membagi ilmu kepada siswa walaupun harus mengajar di atas tempat tidur. Bu Guru Een terkena penyakit rematoid artifis yang membuat anggota badannya tidak bisa digerakkan. Warga Dusun Batukarut, Desa Cibereum Wetan, Cimalaka, Sumedang, Jawa Barat ini hampir 26 tahun mengabdikan diri mengajar kepada anak-anak di sekitar rumahnya. Tanpa minta bayaran. Semua dilakukannya dengan keikhlasan tanpa pamrih. Berkat kesabarannya dalam mengajar, anak-anak pun datang silih berganti. Keterbatasan fisik tidak menghalanginya untuk berbagi ilmu dan kasih sayang.
Guru memiliki pekerjaan berat. Melawan paradigma tentang sekolah yang hanya untuk mendapatkan selembar ijazah sebagai bekal mencari kerja. Atau sekolah sebagai sebuah keterpaksaan karena program pemerintah 'Wajib Belajar'. Sehingga sekolah menjadi sebuah masa tunggu bagi anak-anak sebelum nantinya mereka bekerja mencari nafkah. Sebab ada sebagian kecil orang tua yang menganggap sekolah hanya menghabiskan waktu dan biaya saja. Umumnya terjadi pada masyarakat kelas bawah.
Guru dihadapkan realita degradasi moral yang melanda generasi muda. Masalah sosial itu terjadi pada cara berbicara, berpakaian, dan bergaul mereka. Kata-kata vulgar menjadi biasa dalam percakapan langsung maupun di dunia maya. Ditambah gencarnya sosial media yang menyuguhkan beragam teladan yang tidak baik. Membuat mereka mau tidak mau terpapar dengan berbagai suguhan yang mereka lihat. Kemajuan teknologi menghadirkan budaya instan, materialistis, dan hedonis. Generasi muda kita diimingi kesenangan yang instan. Mengumbar hawa nafsu yang dapat merusak masa depan mereka. Maka tidak heran kita temui siswa yang lebih tertarik dengan HP, sepeda motor, jalan-jalan atau kongkow-kongkow dari pada  belajar. Di sekolah tidak betah, inginnya cepat pulang.
Seorang guru harus mau ambil bagian dalam perbaikan moral generasi muda bangsa Indonesia. Dengan bimbingan dan pembinaan generasi muda dengan sabar dan tekun. Pendidikan yang lebih mengutamakan memberikan keteladanan. Menampilkan sikap-sikap dan kebiasaan positif kepada mereka. Mungkin tidak cukup satu dua kali kita menegur atau mengarahkan peserta didik. Namun dengan kesabaran, meskipun tidak sampai pada tujuan, usaha kita akan dinilai oleh Allah. Karena hanya Allah Maha pembolak balik hati manusia.
Kompetisi abad ke-21 bagaimanapun akan membawa peserta didik ke arena kompetisi global sehingga peserta didik perlu mengembangkan identitasnya sebagai warga dunia. Untuk mengembangkan identitas peserta didik sebagai warga dunia maka dibutuhkan sebuah kurikulum yang dapat mewujudkan Profil Pelajar Pancasila.
Profil pelajar pancasila adalah karakter dan kemampuan yang sehari-hari dibangun dan dihidupkan dalam diri setiap individu pelajar. Karakter dan kemampuan ini adalah perwujudan dari nilai-nilai Pancasila. Dengan adanya Profil Pelajar Pancasila, sistem pendidikan nasional menempatkan Pancasila tidak saja sebagai dasar, tetapi juga ditempatkan sebagai tujuan yang utama.
Berdasarkan berbagai kajian yang telah dilakukan, Profil Pelajar Pancasila dirumuskan dalam satu pernyataan yang komprehensif, yaitu "Pelajar Indonesia merupakan pelajar sepanjang hayat yang memiliki kompetensi global dan berperilaku sesuai nilai-nilai Pancasila." Pernyataan ini memuat tiga frasa kunci, yaitu pelajar sepanjang hayat, kompeten, serta karakter dan perilaku nilai-nilai Pancasila.
Dari pernyataan Profil Pelajar Pancasila tersebut, enam karakter/ kompetensi dirumuskan sebagai dimensi kunci. Keenamnya saling berkaitan dan menguatkan, sehingga upaya mewujudkan Profil Pelajar Pancasila yang utuh membutuhkan penguatan keenam dimensi tersebut, tidak bisa parsial.
Keenam dimensi itu adalah:
1. beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia
2. mandiri
3. bernalar kritis
4. kreatif
5. bergotong-royong
6. berkebhinekaan global.
Enam dimensi tersebut menunjukkan bahwa Profil Pelajar Pancasila tidak hanya berfokus kepada kemampuan kognitif, namun juga kepada sikap dan perilaku yang sesuai dengan jati diri sebagai bangsa Indonesia sekaligus warga dunia.
Profil Pelajar Pancasila telah merangkum kompetensi yang dibutuhkan peserta didik untuk menjelang tantangan abad ke-21. Memahami bahwa karakter Pancasila berkembang seperti spiral, maka pendidikan memiliki peran penting dalam menguatkan dan mengembangkan karakter yang sama, misalnya menjadi pelajar yang mandiri, secara konsisten sejak dini hingga peserta didik memasuki usia dewasa.
Sehingga untuk mewujudkan profil pelajar pancasila ini dibutuhkan peran besar dari seorang guru yang inspiratif. Karena hanya guru yang inspiratiflah yang mampu mendorong peserta didiknya menjadi apa yang diimpikan dan sesuai dengan tantangan abad ke-21. Yaitu seorang pelajar yang merupakan warga dunia dengan identitas anak bangsa yang kuat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H