Mohon tunggu...
diyarko
diyarko Mohon Tunggu... Guru - Guru, volunteer GSM, coach

Guru SMK Negeri 11 Semarang, Volunteer Gerakan Sekolah Menyenangkan Indonesia dan coach

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kolaborasi Challenge Kurangi Beban Tugas di Masa Pandemi

8 Februari 2022   09:48 Diperbarui: 8 Februari 2022   13:33 512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) secara daring menjadi sebuah pilihan bagi sekolah dalam menghadapi lonjakan COVID 19. Di awal Januari 2022 pemberlakuan pembelajaran tatap muka (PTM) 50% di sekolah sudah mulai diterapkan, bahkan di awal Fabruari sudah bisa menerapkan  PTM 100% meskipun dilakukan dalam dua sift, sift pagi dan sift siang. Belum genap 2 minggu kegiatan berlangsung sudah harus berganti lagi menjadi PJJ karena lonjakan varians Omicorn. Sekolah harus dapat cepat beradaptasi terhadap situasi perubahan yang begitu cepat, namun sayangnya beralihnya cara pembelajaran ini tidak diikuti dengan metode pembelajaran yang menuntut kodrat peserta didik. Masih banyak guru yang mengalihkan cara-cara lama yang sudah dilakukan di depan kelas ke bentuk PJJ melalui google meet, zoom meeting dan atau sejenisnya. Cara-cara lama seperti apa? Para guru cenderung mengisi pengetahuan melalui ceramah yang biasa dilakukan di kelas dialihkan ke sistem PJJ tersebut.  Beban siswa untuk mengikuti pembelajaran seperti ini sangat besar, di samping beban kuota yang harus ditanggung untuk mengikuti PJJ tidaklah sedikit, dapat dibayangkan berapa kuota yang harus dikeluarkan apabila harus mengikuti google meet dari pukul 07.00 sampai 12.00 setiap harinya. Belum lagi harus menyelesaikan tugas yang diberikan oleh setiap mata pelajaran.  Jika ada 13 mata pelajaran maka setiap minggunya dan misalnya ada 10 mata pelajaran yang memberikan tugas kepada siswa setiap pertemuannya, maka mereka harus menyelesaikan 10 tugas setiap minggunya. Mungkin Anda tidak sanggup ketika harus kembali menjadi siswa dengan kondisi seperti ini. Apakah sistem pembelajaran harus seperti itu yang akan dijalankan di sekolah? Apa tidak ada cara-cara yang lebih memanusiakan anak didik kita dibandingkan hanya sekedar mengisi materi sesuai kompetensi dasar yang ada di kurikulum sekolah seperti halnya mengisi botol kosong dengan air? Jangan heran ketika siswa ke sekolah oritentasinya bukan lagi belajar menuntut ilmu, namun sekedar ingin bertemu teman-temannya karena suasana pertemanan itulah yang sebenarnya mereka inginkan, karena kodrat manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan kolaborasi antara satu dengan yang lainnya. Sistem persaingan yang diciptakan di kelas selama ini dengan standar-standar yang sama, perengkingan yang selama ini dilakukan justru semakin merenggangkan makna kebersamaan, munculkan persaingan tidak sehat di kelas.  Kodrat siswa yang beranekaragam tidak mendapatkan penghargaan karena diberikan standar yang sama. Ibarat dalam perlombaan antara kera, ikan dan gajah dan ketika lomba berenang gajah dan kera tidak mungkin menang, begitu sebaliknya ketika lomba memanjat, ikan dan gajah tidak mungkin menang. Begitu juga dengan lomba kekuatan maka gajahlah yang akan menjadi juaranya. Mengapa sistem pembelajaran menciptakan persaingan di antara siswa, bukan kebersamaan yang menjadi orientasi pertamanya sehingga tercipta kolaborasi saling melengkapi. Alangkah indahnya ketika dipanggung ada Ani yang pintar membaca puisi, diiringi Arif yang pintar memetik gitar dan Anton yang pintar melukis untuk menggambarkan makna dari puisi tersebut. Bukan lagi perlombaan namun mampu menciptakan project yang menarik dengan melibatkan kebersamaan antar siswa yang saling melengkapi satu sama lainnya.

Dari kondisi yang seperti itulah jurusan Animasi SMK Negeri 11 Semarang melakukan terobosan menerapkan kolaborasi challenge pada mata pelajaran produktif. Di kelas X terdapat mata pelajaran produktif yaitu skesta, dasar-dasar seni rupa, dasar-dasar kreativitas, gambar, tinjauan seni dan simulasi komunikasi digital. Mata pelajaran-mata pelajaran tersebut sebenarnya memiliki banyak irisan yang saling terkait, namun sayangnya apabila mengacu pada kompetensi dasar dengan cara-cara yang kaku, maka akan menciptakan tugas-tugas yang banyak antar mata pelajarannya. Mata pelajaran tersebut sebagai dasar untuk mengembangkan kemampuan membuat animasi. Apabila mengacu pada cara-cara yang sesuai dengan tingkatannya, maka anak akan dapat membuat film animasi  di kelas XI dan XII. Lambat sekali perkembangan kemampuan siswa apabila dilakukan pembelajaran dengan mengacu pada tuntutan kurikulum tersebut, sedangkan kecepatan industri begitu cepat seperti anak panah yang melesat dari busurnya, sedangkan di sekolah hanya disibukkan dengan hal-hal rutinitas yang bersifat administratif. 

Kolaborasi challenge menjadi alternatif untuk mengatasi hal itu. Seorang siswa ketika akan membuat sebuah project animasi 2D pasti diawali dengan membuat ide cerita, script cerita dan storyboard dan dubbing, yang dilanjutkan dengan proses  membuat gambar gerak (key beetwen dan in between), pembuatan backgorund dan compositing dan editing. Semua proses tersebut secara garis besar terbagi menjadi tiga tahapan pra produksi, produksi dan pascaproduksi animasi. Ketika membuat ide cerita dan script cerita diperlukan kreativitas daya imajinasi siswa yang dituangkan dalam bentuk tulisan. Bahasa Indonesia sangat memiliki peran dalam proses ini, sayangnya dalam pembelajarannya belum dapat berkolaborasi. Akan lebih bermakna apabila mata pelajaran Bahasa Indonesia dapat berkontribusi dalam melatih siswa membuat ide cerita dan script cerita. Pembuatan storyboard diperlukan kemampuan sketsa yang bagus dengan didukung oleh kemampuan menerapkan angle camera dalam sebuah gambar sketsa. Pembuatan dubbing diperlukan kemampuan siswa dalam menyajikan rekaman dialog dengan intonasi dan penjiwaan sesuai karakter tersebut. Lebih indahnya apabila guru Bahasa Indonesia mampu memberikan kontribuasi dalam pembelajaran yang diciptakan untuk berkolaborasi dengan orientasi pada monolog, dialog yang productnya adalah rekaman dubbing yang siap digunakan untuk produksi film animasi sesuai dengan script yang dibuat di awal. Ketika membuat gambar gerak (key beetween dan in between) diperlukan kemampuan siswa membuat sketsa, kemampuan menerapkan gambar anatomi, gambar pose-pose. Hal ini akan terasah ketika sketsa dan dasar-dasar seni rupa serta dasar-dasar kreativitas menjadi satu kesatuan project yang saling melengkapi. Begitu juga dengan proses membuat background dan pewarnaannya, diperlukan kolaborasi yang saling melengkapi. Ketika proses editing diperlukan perpaduan antara hasil compositing dan musik latar ataupun sound effect. Peran mata pelajaran seni budaya (seni musik) sangat diperlukan dalam proses ini, maka idealnya diperlukan kolaborasi dengan seni budaya dalam pembelajaran project ini.

Idealisnya kolaborasi semacam ini sangat diharapkan dapat terealisasi, namun untuk mewujudkannya masih ditemui berbagai kendala. Menyatukan visi dan persepsi tentang project ini menjadi PR bersama di jurusan, karena egosentris dari masing-masing guru mata pelajaran masih tinggi sehingga kolaborasi belum sepenuhnya dapat diwujudkan. Dalam perkembangannya, kolaborasi ini baru dapat dilakukan beberapa guru maya pelajaran pada rumpun produktif yang dapat berkolaborasi secara permanen.  Di kelas X animasi sudah terbentuk dua kelompok project besar yaitu basic drawing dan visual creativity. Basic drawing merupakan wadah project bersama untuk kolaborasi mata pelajaran sketsa, dasar-dasar seni rupa dan dasar kreativitas, sedangkan project visual creativity sebagai wadah project bersama untuk kolaborasi mata pelajaran gambar, tinjauan seni dan simulasi komunikasi digital. Semua project tersebut dikemas secara pembelajaran sinkronus dan asincronus melalui portal animax (http://bit.ly/portal-animax).

Proses pembelajarannya lebih banyak menggunakan group watshap yang tidak terlalu memakan banyak kuota. Empat kelas bergabung menjadi satu group. Setiap siswa melihat tantangan (challenge) yang ada di portal animax, menyelesaikan secara mandiri dengan referensi dari berbagai sumber belajar melalui internet, konten youtube maupun instagram. Peran guru dalam hal ini memberikan banyak referensi yang terkait dengan tantangan yang ada di portal tersebut. Setelah siswa menyelesaikan challenge selanjutnya diposting di Instagram. Instagram bukan sekedar media sosial, namun sebagai wadah untuk mengukir sejarah dan perkembangan karya siswa. Instagram juga sebagai media untuk membanding dirinya, karena semua karya yang diposting menjadi portofolio untuk pertimbangan seleksi magang di Industri ekonomi kreatif. Dari link yang diposting tersebut selanjutnya dikirim di group watshap. Dari group inilah siswa dapat saling melihat karya siswa yang lainnya. Peran guru adalah menciptakan ekosistem yang menyenangkan di group ini. Kesepakatan group dapat dibentuk misalnya saling menghargai karya (tidak ada ujaran hinaan maupun bulying secara tulisan maupun secara verbal). Peran lain dari guru adalah memberikan feedback berupa respon positif.  Respon positif seperti ungkapan "good", "very good", "semangat", "wow" menjadi energi positif bagi siswa untuk terus berkarya. Kalimat tanya pemantik lainya yang sering ditulis di group adalah "menurutmu apa yang perlu dilakukan agar karyamu lebih wow lagi?". Dari pertanyaan ini menuntut anak untuk berpikir lebih tinggi, melakukan review terhadap hasil karyanya, menilai diri sendiri dan akhirnya siswa mampu menuangkan ide untuk menciptakan karya yang lebih baik. Pertanyaan yang sederhana namun mampu memantik kesadaran diri untuk melakukan perbaikan. Remidi tidak lagi seperti sebelum-sebelumnya setelah kegiatan ulangan, namun justru remidi dilakukan pada proses pembelajaran dan dilakukan atas kesadaran diri bukan karena diminta oleh guru. Feedback inilah menjadi bagian penting dari evaluasi proses pembelajaran yang dapat meningkatan kesadaran diri siswa untuk meningkatkan kompetensi siswa. Penilaian bukan sekedar angka-angka yang tidak bermakna, namun suatu ungkapan feedback yang justru mendorong perubahan diri siswa untuk ke arah yang lebih baik.

Kolaborasi challenge yang dikemas dalam portal animax tersebut justru menjadi portofolio yang bermanfaat bagi siswa. Ketika siswa sudah memiliki portofolio yang cukup, maka siswa dapat mendaftar magang dengan bekal portofolio tersebut. Dari portofolio tersebut di kelas X saja sudah ada 23 siswa yang diterima magang di Acong Graphic (Depok), Animars (Yogyakarta), Pickolab, Vokasee, PIKARA di kota Semarang dan ada yang mendapatkan beasiswa magang dari MITRASDUDI yang ditempatkan di Raden Umar Said Studio di Kudus.  Magang tidak lagi harus di kelas XI, karena semakin cepat mereka merasakan budaya industri di tempat magang diprediksi akan semakin cepat dalam berkarya dan mengikuti kecepatan kerja di industri. Inilah salah satu merealisasikan merdeka belajar yang digaungkan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 

Challenge-challenge yang diberikan tidak hanya berupa challenge yang mengasah hard skill, namun challenge yang mengasah pada soft skill, seperti menata tempat tidur, membersihkan lingkungan rumah, bercerita tentang orang tuanya dan guru favoritnya. Sepertinya hal sepele, namun justru itulah yang membawa perubahan pada karakter anak. Menata tempat tidur dan membersihkan lingkungan rumah merupakan latihan pertama kali menerapkan budaya 5R ( Ringkas, Rapi, Resik, Rawat, dan Rajin) sehingga diharapkan tidak kaget ketika berada di industri. Empati terhadap orang lain akan terbentuk dari merasa bangga dengan kebaikan-kebaikan yang dilakukan orang tua maupun gurunya sehingga dapat dituangkan dalam bentuk tulisan. Tulisan inilah sebagai cikal bakal siswa menuliskan ide cerita yang bisa dikembangkan menjadi script cerita.

Melaporkan perkembangan karya kepada orang tua juga bagian dari proses pelaporan evaluasi perkembangan siswa. Setiap seminggu sekali guru yang berkolaborasi memberikan laporan perkembangan karya siswa, sehingga peran orang tua justru menjadi guru di rumah. Orang tua dapat memantau, memotivasi anaknya karena setiap saat dapat melihat perkembangan siswa. Portal animax juga terbuka untuk umum yang dapat dilihat oleh orang tua. Saat melihat permainan bola basket, yang dilihat bukan lagi permainannya, namun skornya. Prinsip inilah yang kami adopsi untuk pelaporan jumlah karya yang terkumpul kepada orang tua, sehingga orang tua bersama guru bersama-sama memberikan motivasi kepada anaknya dalam pembelajaran jarak jauh di masa pandemi ini. Semoga kegiatan ini menginspirasi.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun