Mohon tunggu...
Diyan Ahmad
Diyan Ahmad Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

yakusa

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Alam dan Manusia, Konflik yang Tidak Pernah Usai

19 Januari 2017   01:23 Diperbarui: 19 Januari 2017   01:57 2481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam kasus negara ini, dapat kita lihat dari hasil putusan-putusan sidang yang cenderung memenangkan swasta dan negara. Lihat saja kasus Pulau G di teluk Jakarta. Saat banding di PT TUN nomor 228 tertanggal oktober 2016, negara (Pemprov DKI Jakarta) dan PT. Muara Wisesa Samudra menang dan akhirnya melanjutkan izin reklamasi.

Sebagai pembelajar lingkungan, penulis menganggap keputusan tersebut sangat disayangkan. Pertimbangan-pertimbangan administratif dan ganti rugi negara (diluar pertimbangan lingkungan berkelanjutan) justru menegasikan kontribusi alam. Dan selanjutnya berseberangan dengan konsepsi negara terkait pembangunan berkelanjutan.

Selain itu, alam tidak hanya berdampak positif dengan mengedukasi bagaimana memberikan manfaat sebanyak-banyaknya, dan tidak pernah menanyakan apa yang diterima dari yang dikasih. Alam juga menyeimbangkan dengan siklus kehidupannya yang berfilosofis pada siapa yang kuat dialah yang berkuasa. Seperti yang ditampilkan pada ruang pendidikan sejak sekolah dasar, dimana terdapat rantai makanan yang saling bunuh-membunuh.

Dalam pandangan manusia, lingkaran saling memakan ini tentu ditolak, karena dianggap kejam dan menghilangkan hak untuk hidup. Meskipun begitu, konsepsi itulah yang berlaku bagi alam. Secara tidak sadar, manusia pula ternyata sebagai homo sapiens, yang berfikir— turut mengaplikasikan siklus kehidupan alam, saling makan, saling bunuh, dan justru memodifikasi siklus dengan saling merebutkan posisi hierarki teratas.

Juga, manusia sebagaimana disebutkan oleh A. Sony Keraf (2002) dalam Etika Lingkungan, memiliki pandangan antroposentrisme, segala sesuatu yang ada untuk memenuhi kebutuhan manusia. Hadir ditengah-tengah sosial namun menyangsikan kebermanfaatannya. Dan juga menegaskan apa yang akan diterima dari dampak bersosialnya.

Bukankah semestinya adanya tindakan saling bermanfaat antara alam dan manusia. Karena manusia bukanlah makhluk yang berada diluar dan terpisah dengan alam, tanpa adanya saling melengkapi dalam keharmonisan kehidupan.

Sehingga sudah menjadi kewajaran tugas manusia juga untuk merawat dan melindungi alam. Akhirnya, penulis hendak menutup tulisan ini dengan meminjam perkataan Pramoedya Ananta toer, “Seorang yang terlepajar harus berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.”

Di post Nuwobalak(dot)com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun