Diyah.21april.2009.
Nining, 14 tahun. Lahir dari keluarga petani garap miskin, 3 bersaudara, anak tengah diantara kakak lelaki dan adik perempuannya. Tak bisa lari dari kenyataan saat lulus Sekolah Dasar dan orangtuanya mengatakan bahwa sudah tak ada biaya untuk melanjutkan pendidikan. Sedih, kecewa, nerima, pasrah dipaksa keadaan.
“Aku harus kerja”, kata Nining. Jadi apa? Jaman sekarang siapa yang mau nerima lulusan SD. “Aku harus ke Jakarta”, pikir Nining. Disana ada harapan, banyak kesempatan, buktinya kakak kelasku di sekolah kemarin, pada saat pulang kampung punya handphone yang keren sekali, padahal dia pernah tak naik kelas waktu sekolah. Di Jakarta tak perlu pintar.
Cinta, 18 tahun. Anak orang kaya bapaknya pejabat, ketua geng gaul disekolah, hobi sekali nonton sinetron. Menjelang Ujian Nasional “ditembak” anak kuliahan dari kampus swasta terkenal, ganteng, hobinya dugem, mobilnya ceper, kinclong, pokonya gaul abiissss. Aku jatuh cinta, aku bakal jadi pusat perhatian kalau dia jadi pasanganku pada saat prom night nanti.
Seru sekali dugem itu ya?! Teman-teman pacarku rame sekali. Tapi hanya itu yang aku ingat, separuh malamnya lupa karena terlalu banyak alkohol yang aku minum. Pagi-pagi bangun dikosan pacarku dengan kepala pusing dan merasa sedih, tanpa tahu sebabnya.
Cinta hamil 6 bulan tepat hari pertama Ujian Nasional, sang pacar kabur entah kemana, orangtuanya kecewa tapi menerima pasrah keadaan anaknya, memperjuangkan Cinta supaya bisa ikut Ujian Nasional. Sekolah menolak, katanya Cinta telah melanggar peraturan. “Tahu begitu aku turuti saja kemauan pacarku untuk gugurin janin ini. Pasti dia tetap ada mendampingiku dan aku bisa memakai gaun indah pada saat prom night nanti”, pikir Cinta.
Dian, 29 tahun. Belum menikah, Account Executive di sebuah perusahaan periklanan ternama. Menjalin hubungan cinta dengan lelaki beristri, percaya bahwa kekasihnya tidak cinta kepada istrinya, percaya bahwa kekasihnya akan menceraikan istrinya lalu menikahi dia, percaya bahwa cinta sejati ada pada lelaki ini.
Dian pergi kerumah lelaki kemudian mengaku kepada sang istri bahwa dia telah menjalin hubungan pacaran dengan suaminya. Sang istri menanggapi dengan tenang, dia percaya suaminya, lelaki adalah orang yang bertanggung jawab, sayang anak-anaknya dan lelaki tahu apa yang benar. “Kalaupun suami saya cinta sama kamu, dia tetap hanya memilih yang benar, dan yang benar adalah saya dan keluarga kami, bukan kamu.” Kata, sang istri. Dian limbung, dia pikir pasti akan memenangkan pertarungan. “Tetapi aku tak akan menyerah, pasti lelaki akan jadi milikku.” Pikir Dian.
Bertengkar hebat karena Dian menagih janji untuk dinikahi, lalu dipukul oleh kepalan tangan tepat dimata. Setelah selesai sang lelaki menyesal tersungkur menangis meminta sejuta maaf, kemudian membuat janji baru. “Aku tak akan mengulangi wahai kasihku dan bulan depan kita pasti menikah”. Dian memaafkan dan merajut ulang harapan.
Perjuangan itu tentang kehidupan yang lebih baik, berangkat dari ketidaktahuan atau diam di tempat lalu menyalahkan keadaan. Perjuangan itu tentang kodrat yang dijalani sebaik-baiknya, bukan tentang mimpi yang kita tidak tahu cara mewujudkannya. Perjuangan itu tentang apa yang benar, bertahan pada keadaan paling buruk dan percaya bahwa sabar akan jadi penyelamat. Bukan berpegang pada janji yang bisa kapan saja dilupakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H