Pilkada serentak di 37 Provinsi sudah di depan mata dan siap digelar pada 27 November 2024. Perhelatan akbar pemilihan para calon pemimpin daerah secara langsung ini sekali lagi akan menjadi penentu nasib roda pemerintahan di wilayah masing-masing di seluruh Indonesia, 5 tahun ke depan.
Beragam strategi kampanye dieksekusi oleh tim sukses para paslon menggunakan saluran media massa dengan ide kreatifnya masing-masing. Media massa menjadi alat penyebar pesan kampanye dalam komunikasi politik paling mujarab bagi para kandidat pemimpin politik. Hal ini seperti dikatakan professor di bidang kampanye politik dari Virginia Tech, Robert E. Denton, Jr. (dalam Brian McNair, 2018) bahwa media massa, salah satunya televisi, memiliki peranan yang sangat penting sebagai saluran kampanye pemilu di Amerika Serikat.
Strategi komunikasi politik yang menarik disimak akhir-akhir ini dalam beragam platform media massa dan mewarnai dinamika Pilkada di Indonesia adalah aksi turun gunungnya para tokoh politik, mendukung salah satu paslon pemimpin daerah. Diawali dengan aksi calon Gubernur DKI Jakarta nomor urut 1 Ridwan Kamil, menemui Presiden Prabowo Subianto pada 31 Oktober 2024, disusul kemudian pertemuan dengan Presiden RI ke-7 Joko Widodo di Solo.
Gayung bersambut, Joko Widodo menyatakan dukungannya kepada paslon calon Gubernur DKI Jakarta nomor urut 1, Ridwan Kamil dan Suswono, yang diklaim memiliki rekam jejak yang mumpuni dan layak memimpin Jakarta. Tidak cukup sampai di situ, Joko Widodo kembali menyatakan dukungannya secara terbuka kepada paslon Gubernur Jawa Tengah nomor urut 2, Ahmad Luthfi-Taj Yasin pada 17 November 2024 yang dinilai dapat bersinergi dengan baik bersama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Seakan melihat dampak dari Jokowi Effect yang masih cukup signifikan pasca pernyataan dukungan terbuka, tokoh politik lain kemudian melakukan aksi yang sama. Anies Baswedan secara resmi deklarasikan dukungan untuk Paslon Gubernur DKI Jakarta nomor urut 3 Pramono Anung-Rano Karno pada Kamis, 21 November 2024. Dukungan ini membawa optimisme 90% anak abah yang merupakan para pendukung Anies, akan memuluskan jalan pasangan Mas Pram dan Bang Doel ini menang Pilkada. Begitu juga dengan Ahokers, pendukung Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) juga menyatakan dukungannya pada calon pasangan yang diusung partai PDI Perjuangan dan Hanura tersebut. Seakan menjadi senjata pamungkas, Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri ikut andil, turun gunung mendukung paslon Gubernur DKI Jakarta nomor urut 3, Pramono Anung-Rano Karno.
Ajang pertarungan dukungan para tokoh politik ini seakan menjadi jurus ampuh strategi komunikasi politik yang digunakan para paslon, melengkapi aktivitas kampanye politi lainnya. Apakah hal ini cukup efektif menghantarkan paslon memenangkan kompetisi Pilkada?
Sekilas, ajang saling dukung ini seakan bukan hanya mengedepankan pertarungan para paslon, namun justru menjadi ajang peta kekuatan antara Megawati yang kini sejalan dengan Anie dan Ahok sebagai partai pendukung paslon berlambang banteng dan Jokowi yang mendukung partai=partai yang berseberangan.
Dinamika politik ini sangat kentara dalam ajang pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur di lumbung suara PDI Perjuangan di Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan Jakarta. Seakan, Jokowi yang selalu mendukung paslon “di luar” PDI Perjuangan, akan head-to-head dengan kekuatan kubu Megawati Soekarnoputri, Anies Baswedan, dan Ahok dalam ajang Pilgub di wilayah-wilayah sarang Moncong Putih itu.
Narasi-narasi yang muncul di media, menegaskan dinamika pilgub semakin marak adanya campur tangan “pertarungan” sosok tokoh-tokoh politik ini dalam ajang pilkada tahun ini. Spekulasi bermunculan dengan harapan para tokoh politik yang turun gunung ini akan memberi peluang kemenangan salah satu paslon yang didukung tokoh politik paling berpengaruh.
Hal ini seperti disampaikan Stephanie Jean Tsang dan Hernando Rojas (2020) yang mengatakan bahwa opinion leader memiliki pengaruh penting dalam membentuk opini publik, membingkai isu politik, dan turut memengaruhi dinamika partisipasi politik. Bahkan argumen ini semakin diperkuat dengan uraian Lazarsfeld, Berelson, dan Gaudet (1944) yang mengatakan bahwa dalam sikap pemilih tidak semata-semata efek dari paparan isi berita di media saja, namun pada kekuatan opinion leader yang seakan turut menjadi mediator dan mengonstruksi agenda politik tertentu untuk kemudian disalurkan kepada kelompok pendukung dan publik yang terpapar.
Tidak ada yang bisa memprediksi, apa motivasi para tokoh politik yang menjadi opinion leader ini mau turun gunung dalam kancah politik level daerah. Apakah memang memiliki maksud mengarahkan opini publik pada sosok paslon yang bisa memimpin daerah, atau menurut Rojas (2010) “meluruskan” opini publik yang dikonstruksi media dan dianggap “salah” karena tidak sesuai dengan tujuan politiknya. Namun dampak yang paling mengkhawatirkan justru aksi turun gunung ini akan menciptakan dan menajamkan polarisasi politik dalam masyarakat karena ada upaya mendorong pengikut mereka pada pandangan ekstrim tertentu. Ditambah penelitian tentang partisipasi politik menunjukkan bahwa frekuensi keterlibatan para tokoh politik ini dalam dinamika politik akan semakin memperkuat pesan politik di kalangan publik sehingga sikap fanatisme kalangan pengikut akan semakin kuat.