Mohon tunggu...
Hamid Patilima
Hamid Patilima Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis, pembicara, dan fasilitator

Merdeka

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Anak Tidak Aman di Jalan

6 September 2013   08:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:17 853
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1378430307488191768

Di Inggris, dua dari 30 anak di ruang kelas tidak mencapai usia 16 tahun, karena meninggal atau cacat akibat kecelakaan lalu-lintas (DfT, 2002). Bagaimana dengan di Indonesia, data Polri tahun 2011, dari 108.696 insiden kecelakaan, korban meninggal 31.195 orang, luka berat 35.285 orang, dan luka ringan 108.945 orang. Kerugian material sebear 217 triliun (lihat grafik). Dari angka tersebut ada anak di dalamnya yang menjadi korban sia-sia.

Menurut WHO “kecelakaan lalu lintas di Indonesia menjadi pembunuh terbesar ketiga pada dua tahun terakhir, di bawah penyakit jantung koroner dan tuberculosis/TBC (dikutip dari bin.go.id). Data WHO menyebutkan kurang lebih 3.000 orang di seluruh dunia atau 33 orang di Indonesia meninggal setiap harinya, karena kecelakaan lalu-lintas. Berdasarkan Laporan Kesehatan Dunia, 85% dari 90% angka kematian di Negara berkembang disebabkan oleh kecelakaan lalu-lintas. Karena itu isu kecelakaan pada tahun 2000 - 2020 menempati urutan ke-3 (era 1990 ke-9) yang mendapat perhatian WHO untuk bidang penelitian dan pengembangan progam pencegahan angka kematian (WHO, 2004:16).

Apa upaya yang telah, sedang, dan akan kita perbuat? Anak-anak mati sia-sia. Bandingkan dengan sumber penyebab kematian lainnya seperti Flu Burung, HIV/AIDS, DBD. Korbannya tidak sebanding, tetapi Kementerian Kesehatan sangat reaktif dengan program pencegahan dan penanganannya. Bagaimana dengan korban kecelakaan lalu-lintas?

Apakah, karena kejadiannya secara sporadis, atau karena yang menjadi korban orang miskin ataukah karena isu kecelakaan lalu-lintas bukan isu seksi. Sepertinya, Kementerian Kesehatan dan bagiannya berlaku diskriminatif dalam hal ini. Apakah pencegahan kecelakaan lalu-lintas bukan tugas pokok bidang kesehatan. Menarik, jika dilihat dari besarnya jumlah korban yang meninggal, luka berat dan luka ringan. Terlebih jumlah korban anak. Akhirnya dana kesehatan yang seharusnya untuk menyubsidi penyakit generatif dan atau menular, terserap oleh korban kecelakaan lalu-lintas. Untuk itu, perlu dibangun persepsi baru bahwa “Masalah lalu-lintas bukan lagi dominasi dari Kementerian Perhubungan, Kepolisian, dan Asuransi saja, namun juga masalah keselamatan lalu-lintas seharusnya menjadi isu Kesehatan Masyarakat.”

Strategi

Menjadikan orang tua, masyarakat dan pemerintah agar paham tentang arti penting keselamatan anak di jalan tidaklah semudah membalik telapak tangan, karena masih rendahnya kepedulian terhadap anak. Diperlukan suatu strategi pemecahan. Pertama, perlu penguatan kesadaran publik tentang keselamatan pejalan kaki, khususnya anak, selain mempromosikan keuntungan berjalan kaki bagi kesehatan dan lingkungan. Dibutuhkan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah untuk kampanye publik tentang kesadaran dan pemahaman dari sejumlah individu di bidang kesehatan, keselamatan, komunitas, selain penegak hukum.

Kedua, merubah perilaku dan sikap pejalan kaki dan pengendara untuk berbagi jalan. Pada pendekatan Behavior Change Communication, ada beberapa tahapan yang harus dilalui oleh seseorang untuk dapat merubah perilaku dan sikap dari hal yang negatif ke hal yang positif, antara lain: sosialisasi tentang keselamatan di jalan secara terus-menerus kepada anak dan pengendara. Sosialisasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai upaya sehingga informasi yang disampaikan diharapkan dapat bertahan lama difikiran anak dan pengendara, agar mereka sadar untuk saling berbagi dan menjaga keselamatan di jalanan.

Ketiga, merubah lingkungan fisik untuk mendukung pejalan kaki. Penduduk Jakarta perlu berterima kasih kepada Joko Widodo, yang mampu merubah fisik Jalan Sudirman untuk pedestrian dan beberapa jalan lain di DKI Jakarta. Upaya ini akan semakin baik apabila dapat dilanjutkan sampai ke daerah permukiman. Untuk ini, pemerintah perlu mengembangkan pula standar konstruksi jalan yang memperhatikan keselamatan pejalan kaki. Para perencana kota, pengembang real estate, dan arsitek lanskap harus mempertimbangkan penyediaan pedestrian yang aman, khususnya untuk anak dan orang dengan kecacatan, ketika mereka mulai mendesain komuniti yang baru atau mendesain kembali bangunan sekolah, lokasi rekreasi, dan pusat bisnis.

Keempat, mengembangkan dan meningkatkan efektifitas program keselamatan jalan. Mendorong tersedianya program pencegahan kecelakaan anak yang mendapat dukungan dari pemerintah dan swasta. Selain itu untuk mengingatkan orang tua tidak mudah meminjamkan motor kepada anaknya yang belum miliki SIM. Hal ini bisa dilakukan oleh seorang individu atau pejuang yang secara terus menerus menyuarakan pentingnya keselamatan anak. Pada tingkat komunitas dapat dibentuk koalisi yang berasal dari multi-disiplin ilmu dan latar-belakang untuk mengembangkan program yang juga menekankan pada aspek keselamatan. Koalisi ini dapat melibatkan orang tua, guru, pengurus sekolah, dan individu peduli anak untuk mengidentifikasi dan menyusun pemecahan masalah keselamatan anak di jalan.

Kelima, melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui kesenjangan pengetahuan anak dan orang dewasa; mengefektifkan kebijakan publik dan program; dan mengevaluasi program keselamatan anak di jalan. Dan yang keenam, melakukan survei untuk mengukur angka kecelakaan pejalan kaki anak, kualitas pedestrian, dan identifikasi faktor resiko. Untuk hal ini pemerintah perlu mengembangkan system surveillance factor untuk mengukur bagaimana dan mengapa anak menjadi korban, dan mengidentifikasi perubahan lingkungan dan perilaku untuk pencegahan. Sistem ini harus berhubungan dengan sumber data lainnya, khususnya rumah sakit dan kantor kepolisian.

Rute Aman Selamat Ke Sekolah

Untuk menerjemahkan strategi di atas, solusi utama dengan mengembangkan program “Rute Aman Selamat Ke Sekolah” (RASS) (save route to school). Yaitu program yang diarahkan pada penciptaan keselamatan perjalanan anak ke atau dari sekolah. Hal ini dapat direalisasikan dengan: menempatkan wakil anak untuk mengawasi mereka; menyediakan fasilitas yang baik untuk berjalan kaki dan bersepeda ke atau dari sekolah; mengurangi ancaman keselamatan dan kesehatan yang disebabkan oleh kendaraan bermotor, polusi, dan kejahatan; dan mengembangkan suatu budaya yang mempunyai nilai tinggi dan bertanggung jawab di jalan. Program Rute Aman ke Sekolah telah dikembangkan di Denmark, Inggris, Amerika, dan Kanada. Di Indonesia, RASS ini mulai diperkenalkan oleh Institut Studi Transportasi dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia. Selain itu, Kementerian Perhubungan membuat Zona Selamat Sekolah (ZOSS) di beberapa kabupaten/kota. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menjadikan program keselamatan ke sekolah menjadi salah satu indikator Kabupaten/Kota Layak Anak.

Mengapa RASS? Pengalaman Denmark yang pada pertengahan 1970-an terkenal dengan kota yang mempunyai angka kecelakaan tinggi pada pejalan kaki usia anak di Eropa, untuk mengatasi permasalahan tersebut negara ini mengembangkan program ”City of Odense” sebagai proyek rintisan. Program ini diawali dengan mengidentifikasi jalan-jalan yang berbahaya yang melintas di 45 sekolah. Selanjutnya, dibuatlah suatu jaringan untuk jalur pejalan kaki dan sepeda, menentukan jalur dengan kecepatan lambat, dan melengkapinya dengan lampu lalu-lintas. Sepuluh tahun kemudian, program ini berhasil menurunkan lebih dari 80% kasus kecelakaan pada pejalan kaki dan pengendara sepeda. Sejak itu, Denmark menetapkan program ini sebagai program nasional, dan telah dilaksanakan di 65 lokasi.

Di Inggris Raya, Sustran – organisasi non-pemerintah mengampanyekan program transportasi berkelanjutan – memprakarsai program Rute Aman Ke Sekolah di 10 tempat sebagai pilot proyek pada tahun 1995. Proyek ini menyediakan jalur sepeda, lampu lalu-lintas, tempat penyeberangan, dan tanda pengurangan kecepatan. Selama dua tahun proyek ini, penggunaan sepeda berlipat-ganda. Pada program pengurangan kecepatan, terjadi pengurangan angka korban kecelakaan pada pejalan kaki anak secara dramatis, yaitu 70 persen, dan pengendara sepeda 28 persen.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun