Kehilangan bapak adalah momen yang begitu krusial dalam ingatan saya, setiap serpihan luka yang hadir dari kematian bapak, ikut tumbuh bersama, menyesakkan, tapi saya begitu menikmatinya, sebab rasanya bapak selalu ada membersamai saya, walau nyatanya tak lagi ada kehadirannya.Â
Saya begitu hafal waktunya, pukul setengah sembilan pagi, di pagi yang cerah sekali, di hari jum'at yang berseri, 13 oktober 2017, diusia saya yang ketiga belas. Bapak tiada, pergi, meninggalkan dunia. Selamanya. Hari yang teramat menyesakkan bagi saya kali pertama dan satu-satunya.
Bukanya seharusnya 13 Oktober tak akan pernah bisa dilupakan oleh saya? Bukankah seharusnya 13 Oktober adalah waktu untuk merayakan kehilanganNya? Bukankah seharusnya 13 Oktober saya mengunjungi bapak, mengirimi do'a langsung diatas nisan-Nya, menyampaikan rindu, menyirami air dan menaburi bunga?
13 Oktober kemarin, saya melupakannya. Bisa-bisanya bukan? Saya malu atas diri saya sendiri, saya merasa jadi manusia terbodoh di dunia karena bisa-bisanya melupakan hari dimana segalanya merubah saya. Siapa lagi yang akan mengingat bapak, jika bukan anak-anaknya. Saya merasa gagal menjadi anak bapak, ketika anaknya sendiri ini tak mengingat kematianNya. Hati saya teramat hancur, menyadari ternyata sebego ini saya.
Kehilangan bapak satu kalipun tak pernah membuat saya tak bersedih sekali saja. Sehari, seminggu, sebulan yang amat terasa, yang penuh perayaan di tiap harinya. Lalu, setahun, dua tahun, tiga tahun lamanya, mulai terasa, dunia tetap berjalan tanpaNya, dan hari-hari bahkan perayaan-perayaan tergelar tanpa kehadirannya, 1, 2, 3 kali rasa yang teramat luar biasa. Tahun-tahun berikutnya, tentang bapak malah makin mengingatkan terus segalanya, setiap ruang selalu mampu menyeruakkan kenangnya, tapi waktu ternyata bisa menggeser segalanya ya?!
Ditahun kelima, saya masih mengingat betul segalanya, segala momen bahkan percakapan kita, saya masih mengingatnya. Namun, miris di tahun kelima ini saya melupakan suaranya, saya tak ingat pasti suara bapak, padahal saha ingat betul bapak mengatakan ini, bapak berbicara ini, saya tahu kata-katanya, tapi bagaimanakah suara indahnya, hari itu saya menangis semalaman, mencari dan mengingat bagaimana suara asli bapak, tapi ingatan tentang suaranya itu telah tiada, di otak saya. Maka setelah hari itu, hal yang paling saya takutkan dari merasa kehilangan ini adalah LUPA.Â
Tapi tempo lalu, hari ketujuh tahun bapak tiada, saya melupakannya. Hal yang paling saya takutkan terjadi kembali begitu saja, padahal segala upaya saya abadikan agar bapak biss terus ada dalak ingatan saya, tapi yang terjadi apa?Â
Bapak, maafkan segala keterbatasan saya sebagai manusia, walau tiap hari di setiap sujud terakhir shalat bapak selalu kesebut dalam do'a, tapi siapa sangka saya bisa melupakan hari ini pak?Â
Barangkali saya gagal menjadi anak yang senantiasa mengingat bapak, tapi izinkan saya untuk tetap menjadi anakmu, yang senantiasa berusaha untuk selalu mengabadikan bapak di setiap kisah yang ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H