Mohon tunggu...
Divya Anggia
Divya Anggia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hallo!! Namaku Divya Anggia Nur Zahra, kerap dipanggil Vya. Lahir di Garut, 20 Juli 2003. Tumbuh dan besar di keluarga yang berpersonilkan perempuan semuanya, berduakan kakak perempuan, dan satu mama paling cantik sedunia. Saat ini sedang menempuh pendidikan di Institut Pendidikan Indonesia, jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Aku adalah seorang ambivert yang ceria sekali, tapi butuh ruang untuk sendiri, iyaaa!! Walau orang lain mengenalku sebagai manusia ramah yang tidak bisa diam sama sekali. Hobiku menulis, membaca, dan memasak. Tiga hal yang selalu membuat hatiku riang, tiga hal yang selalu mengisi kekosongan dan tiga hal yang setia menamani bahkan ketika semesta dan seisinya meninggalkanku sendirian. Jika ingin mengenal lebih dalam tentangku, aku aktif menulis resep di cookpad dengan nama akun ‘Vya Anggia’ juga bisa kunjungi profilku diinstagram dengan nama akun ‘vyaanggia’.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Lupa: Bagian Tersakit dari Merasakan Kehilangan

9 November 2024   12:52 Diperbarui: 9 November 2024   13:03 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bapak dan Memorinya

Kehilangan bapak adalah momen yang begitu krusial dalam ingatan saya, setiap serpihan luka yang hadir dari kematian bapak, ikut tumbuh bersama, menyesakkan, tapi saya begitu menikmatinya, sebab rasanya bapak selalu ada membersamai saya, walau nyatanya tak lagi ada kehadirannya. 

Saya begitu hafal waktunya, pukul setengah sembilan pagi, di pagi yang cerah sekali, di hari jum'at yang berseri, 13 oktober 2017, diusia saya yang ketiga belas. Bapak tiada, pergi, meninggalkan dunia. Selamanya. Hari yang teramat menyesakkan bagi saya kali pertama dan satu-satunya.

Bukanya seharusnya 13 Oktober tak akan pernah bisa dilupakan oleh saya? Bukankah seharusnya 13 Oktober adalah waktu untuk merayakan kehilanganNya? Bukankah seharusnya 13 Oktober saya mengunjungi bapak, mengirimi do'a langsung diatas nisan-Nya, menyampaikan rindu, menyirami air dan menaburi bunga?

13 Oktober kemarin, saya melupakannya. Bisa-bisanya bukan? Saya malu atas diri saya sendiri, saya merasa jadi manusia terbodoh di dunia karena bisa-bisanya melupakan hari dimana segalanya merubah saya. Siapa lagi yang akan mengingat bapak, jika bukan anak-anaknya. Saya merasa gagal menjadi anak bapak, ketika anaknya sendiri ini tak mengingat kematianNya. Hati saya teramat hancur, menyadari ternyata sebego ini saya.

Kehilangan bapak satu kalipun tak pernah membuat saya tak bersedih sekali saja. Sehari, seminggu, sebulan yang amat terasa, yang penuh perayaan di tiap harinya. Lalu, setahun, dua tahun, tiga tahun lamanya, mulai terasa, dunia tetap berjalan tanpaNya, dan hari-hari bahkan perayaan-perayaan tergelar tanpa kehadirannya, 1, 2, 3 kali rasa yang teramat luar biasa. Tahun-tahun berikutnya, tentang bapak malah makin mengingatkan terus segalanya, setiap ruang selalu mampu menyeruakkan kenangnya, tapi waktu ternyata bisa menggeser segalanya ya?!

Ditahun kelima, saya masih mengingat betul segalanya, segala momen bahkan percakapan kita, saya masih mengingatnya. Namun, miris di tahun kelima ini saya melupakan suaranya, saya tak ingat pasti suara bapak, padahal saha ingat betul bapak mengatakan ini, bapak berbicara ini, saya tahu kata-katanya, tapi bagaimanakah suara indahnya, hari itu saya menangis semalaman, mencari dan mengingat bagaimana suara asli bapak, tapi ingatan tentang suaranya itu telah tiada, di otak saya. Maka setelah hari itu, hal yang paling saya takutkan dari merasa kehilangan ini adalah LUPA. 

Tapi tempo lalu, hari ketujuh tahun bapak tiada, saya melupakannya. Hal yang paling saya takutkan terjadi kembali begitu saja, padahal segala upaya saya abadikan agar bapak biss terus ada dalak ingatan saya, tapi yang terjadi apa? 

Bapak, maafkan segala keterbatasan saya sebagai manusia, walau tiap hari di setiap sujud terakhir shalat bapak selalu kesebut dalam do'a, tapi siapa sangka saya bisa melupakan hari ini pak? 

Barangkali saya gagal menjadi anak yang senantiasa mengingat bapak, tapi izinkan saya untuk tetap menjadi anakmu, yang senantiasa berusaha untuk selalu mengabadikan bapak di setiap kisah yang ada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun