Beberapa tahun terakhir ini banyak ditemukan artikel yang menyebutkan bahwa lautan dapat menyerap karbon di atmosfer. Meski masih belum bisa dipastikan kebenarannya, secara keseluruhan penelitian-penelitian tersebut memberikan bukti meyakinkan bahwa carbon cycle positive feedback (umpan balik positif utama dalam pemanasan global adalah kecenderungan pemanasan untuk meningkatkan jumlah uap air di atmosfer yang signifikan) telah dimulai. Pelepasan karbon baru hasil dari pembakaran bahan bakar fosil dan deforestasi tidak semuanya berada di atmosfir, melainkan terbawa ke biosfer dan laut.
Kondisi ini membuktikan, alam, khususnya laut dapat menyerap lebih dari setengah emisi karbon. Meski demikian, perubahan iklim menyebabkan alam memperlambat penyerapan karbon, atau bahkan mulai melepaskan karbon, yang disebabkan oleh penggunaan bahan bakar fosil dan deforestasi. Dengan luasnya yang berkisar 361 juta km2 atau 72% dari permukaan bumi tentu saja laut sangat mempengaruhi siklus iklim di dunia, salah satu peranan laut yang tidak kalah penting adalah menjaga stabilitas konsentrasi gas di atmosfer khususnya karbondioksida (CO2).
Melalui serangkaian reaksi kimia, biologis dan fisik dengan cakupan area yang sangat luas, siklus pertukaran karbon di laut terus terjadi. Bisa dikatakan bahwa laut merupakan penyerap CO2 alami yang terbesar di bumi karena dari 7 miliar ton CO2 yang dihasilkan oleh manusia pertahunnya, 1.5 miliar ton diserap oleh biosfer terrestrial, sedangkan laut mampu menyerap 2 miliar ton CO2 per tahunnya. Pertukaran CO2 di laut yang terjadi secara biologis, yakni melalui organisme laut yang berfotosintesa seperti fitoplankton yang memanfaatkan nutrien dan menyerap CO2 yang ada didalam laut. Karbondioksida yang telah diserap tersebut akan terdistribusi kembali melalui jaring- jaring makanan (food web) di laut dalam bentuk bahan organik dan sebagian besar terkubur di dalam sedimen dasar laut. Sama halnya seperti di daratan, CO2 yang tersimpan di dasar laut akan membentuk bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan gas alam. Proses tenggelamnya CO2 melalui biota laut tersebut biasanya disebut dengan pompa biologis (biological pump). Reaksi fisis laut juga mempunyai peranan besar dalam penyerapan CO2 (physical pump) baik dari atmosfer ke dalam laut hingga pendistribusian CO2 ke dalam laut dengan massa air yang lebih dingin. Faktor yang mempengaruhinya antara lain : kecepatan angin, tekanan parsial antar muka air laut, temperatur dan salinitas air laut. Semakin dingin air laut maka daya larutnya akan semakin cepat sehingga daya serapnya terhadap CO2 juga semakin besar
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh DKP pada tahun 2007 menyatakan bahwa terumbu karang kita mampu menyerap 65,7 juta ton/tahun, padang lamun sebanyak 50,3 juta ton/tahun, fitoplankton sebanyak 36,1 juta ton/tahun dan hutan bakau sebanyak 67,7 juta ton/tahun. Secara keseluruhan potensi laut kita menyerap CO2 sebesar 219,8 juta ton/tahun. Kondisi tersebut dihitung berdasarkan kondisi optimumnya dan hal yang belum banyak diketahui adalah dampak yang terjadi akibat perubahan iklim yang tentunya akan berpengaruh terhadap daya serap CO2 di lautan, baik secara biologis seperti terjadinya coral bleaching dan pengasaman laut. Sedangkan, dampak yang terjadi lebih luas lagi adalah secara fisis yang berpengaruh terhadap angin, pergerakan massa air karena perbedaan batas termoklin, serta dampak-dampak lain yang akan mempengaruhi intensitas badai dan bencana alam lain di beberapa belahan dunia.
Pendapat lain mengenai laut dengan terumbu karang yang menjadi penyimpan atau penyerap unsur karbon, salah satunya dilatarbelakangi oleh peran terumbu karang yang menghasilkan produktifitas primer sangat tinggi, yakni sekitar 1500-3500 gC/m2/tahun (Nybakken, 1998). Produktifitas primer yang berasal dari simbiosis zooxanthelae yang berasosiasi dengan terumbu tersebut memiliki kemampuan untuk berfotosintesis. Dalam proses fotosintesis inilah aktivitas carbon sink terjadi dengan mengubah unsur karbon menjadi energi dan oksigen.
Sudah banyak penelitian yang dilakukan untuk mengetahui seberapa besar lingkungan laut dan ekosistem terumbu karang berpengaruh terhadap proses penyerapan unsur karbon di atmosfer. Pada dasarnya, apabila siklus fotosintesis pada terumbu karang memang berjalan sebagaimana mestinya, tentu kita juga tahu bahwa proses respirasi sebagai aksi kebalikannya dipastikan akan menghasilkan unsur karbon dengan jumlah yang hampir sama. Perlu diingat juga bahwa semua ekosistem di dunia pasti punya batas toleransi tertentu untuk menerima suatu unsur sesuai kebutuhan mereka, begitu juga dengan terumbu karang. Hal ini tentu menjadi konflik dan bahan diskusi yang menarik berkaitan dengan jumlah unsur karbon yang dapat diserap dan ditoleransi oleh ekosistem tersebut serta dampak negatifnya apabila unsur tersebut mengalami peningkatan dan melewati batas toleransi dari karang itu sendiri. Tentunya, fenomena-fenomena seperti coral bleaching dan pengasaman laut yang berdampak pada proses reproduksi dan kalsifikasi terumbu karang menjadi bukti dan pelajaran bahwa tingkat toleransi ekosistem terumbu karang terhadap lonjakan unsur karbon memiliki batas tertentu dan perlu diteliti lebih lanjut.
Dias Natasasmita
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H