Mohon tunggu...
Dias Natasasmita
Dias Natasasmita Mohon Tunggu... -

Marine B.Sc | Marine Environment Consultant | Reef Checker | Underwater Photographer |

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Fenomena Pemutihan Karang dan Korelasinya Dengan Perubahan Iklim

23 Mei 2014   15:57 Diperbarui: 1 November 2016   08:57 708
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Jangan sampai terumbu karang hanya menjadi bagian dari bahan pelajaran sejarah bagi generasi anak dan cucu kita”

 Kejadian pemutihan karang atau coral bleaching sebenarnya telah tercatat sejak tahun 1870. Fenomena ini seringkali terjadi pada beberapa koloni karang atau gugusan terumbu di wilayah tropis. Laporan pertama tentang pemutihan karang massal baru terjadi pada tahun 1979, ketika fenomena bleaching ini benar-benar terjadi serempak pada seluruh terumbu karang di berbagai kawasan. Pemutihan karang masal secara global terjadi lagi pada pada tahun 1997/1998 dalam skala yang tak pernah terjadi sebelumnya. Hampir setiap terumbu karang di bumi ini mengalami memutih. Selanjutnya frekuensi, skala dan intensitas kejadian pemutihan karang massal meningkat tajam selama beberapa puluh tahun terakhir. Fenomena ini telah diteliti dan diketahui dipicu oleh peningkatan suhu global, yang tentu saja menimbulkan kekhawatiran akan masa depan terumbu karang. Bahkan, karang-karang Porites yang telah bertahan hidup lebih dari 1000 tahun, yang selama ini masih mampu bertahan dari pengaruh banjir, badai, dan siklon pun tiba-tiba mati akibat fenomena ini.

Di beberapa kawasan, 95% terumbu karang mati, sementara Great Barrier Reef (GBR) kehilangan hampir lima persen dari seluruh terumbu karangnya. Pada tahun berikutnya barulah diteliti dan diketahui bagaimana mekanisme pemutihan karang dan interaksinya dengan kecenderungan peningkatan suhu air laut. Sebuah buku yang ditulis oleh Profesor Ove Hoegh-Guldberg berjudul ‘Coral Bleaching, Climate Change and The Futures of the World’s Coral Reefs’ memberikan jawaban yang pasti mengenai apa yang selama ini telah lama dicari oleh para ilmuwan bahwa perubahan iklim merupakan faktor utama yang diindikasikan sebagai penyebab terjadinya fenomena ini 

Karang adalah hewan yang bersifat ektotermik, yaitu hidup dalam kondisi isothermal dengan suhu global antara 18-30°C. Selama musim panas, sebagian besar karang terpapar suhu yang berada pada batas atas toleransi termalnya. Laju metabolisme karang dan zooxantela (alga simbiotik pada karang) akan meningkat seiring kenaikan suhu. Dalam kondisi normal, zooxantela akan mampu berfotosintesis menggunakan produk-produk sisa karang (nitrogen dan fosfor anorganik) dan mengubahnya menjadi gula dan protein.

Selanjutnya, 95% hasil dari proses fotosintesis dikembalikan kepada karang, sehingga karang dapat tumbuh, bereproduksi dan membentuk kerangka karbonat. Yang jadi masalah utamanya adalah salah satu hasil samping proses ini adalah oksigen. Apabila suhu laut melampaui ambang batas karang pada kondisi cahaya matahari penuh, maka akan terjadi laju reaksi yang tak terkendali. Dalam kondisi ini kemampuan zooxantela untuk memproses energi cahaya matahari akan ikut menurun tajam, sehingga pada akhirnya energi ini terkonversi menjadi radikal oksigen yang berbahaya. Molekul ini bersifat sangat reaktif dan mulai merusak jaringan karang inang.

Dalam kondisi tersebut tentu saja karang akan mengalami tekanan hingga titik kerusakannya dan membuat zooxantela melepaskan diri dari karang ke perairan di sekelilingnya. Gejala pertama dari tertekannya terumbu karang adalah keluarnya alga dari polip, dan berubahnya warna karang menjadi lebih pucat karena berkurang atau hilangnya alga tersebut. Jika kondisi ini terjadi konsisten dalam waktu 24 jam saja, seluruh jaringan karang dapat memutih dan karang dipastikan akan mati andai zooxantela tidak kembali lagi.

Kehilangan zooxantela memiliki pengaruh jangka panjang yang signifikan pada karang. Laju pertumbuhan karang menurun nyata dan kemampuan reproduksinya belum tentu akan pulih dalam jangka waktu dua hingga empat tahun. Setelah terjadi pemutihan, karang mampu bertahan hidup selama beberapa bulan tanpa alga simbiotiknya. Namun kemampuan bertahan hidupnya tergantung pada berapa lama karang terpapar kenaikan suhu, dan pada kualitas air di sekitarnya setelah kejadian itu. Cukup sering terjadi sejumlah kecil zooxantela masih hidup dalam jaringan karang atau ada yang kembali setelah kondisi lingkungannya kembali normal, sehingga secara bertahap terjadi rekolonisasi dan seiring waktu, karang dapat kembali berwarna dan sehat.

Kematian karang secara massal dapat terjadi apabila karang tidak pulih setelah memutih, karang ditutupi alga atau terkena penyakit. Hilangnya zooxantela sebagai produsen primer dalam ekosistem ini memiliki implikasi luas dalam jangka panjang. Awalnya mengakibatkan kepunahan berbagai spesies ikan di sekitarnya, dan kemudian berdampak pada spesies lain di tingkatan trofik yang lebih tinggi seperti burung-burung laut. Karang hidup dalam bentang kawasan geografis yang luas dan mengalami variasi suhu yang besar, sehingga memberikan bukti adanya adaptasi karang terhadap suhu.

Di tempat-tempat yang ekstrim seperti Teluk Arab, karang dapat bertahan pada suhu laut musim panas hingga 36°C, sementara di daerah yang lebih sejuk di Pulau Lord Howe, Australia, spesies karang yang sama dapat memutih pada atau sedikit di atas kondisi termal maksimum musim panas daerah itu, yaitu 24°C. Di dalam jaringan karang hidup berbagai kelompok zooxantela yang dikenal sebagai ‘clades’. Total komposisi zooxantela berbeda menurut kondisi lingkungan dan letak geografis. Contohnya, tempat-tempat seperti Pulau Magnetic di Australia dimana suhu bisa mencapai 34°C, pertumbuhan ‘clade’ D paling dominan, sementara di daerah yang lebih sejuk ‘clade’ A yang dominan. Pada saat karang memutih, zooxantela yang lebih toleran terhadap suhu, baik yang berada di luar maupun di dalam karang, mengubah komposisi klados. Kemampuan ini membuat karang lebih tahan terhadap perubahan suhu yang mendadak, namun berakibat fatal pada laju penurunan pertumbuhan dan kemampuan reproduksinya. Kekhawatiran terbesar dari kondisi ini ialah kemampuan karang untuk beradaptasi atau berevolusi tidak akan secepat perubahan yang terjadi pada lingkungannya. Semakin cepat momentum terjadi pada sistem iklim, frekuensi dan tingkat kejadian pemutihan pun akan semankin tinggi. Hal ini berpotensi mengancam kelestarian ekosistem terumbu karang serta memicu kematian terumbu karang dalam skala global.

Dias Natasasmita

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun