Kata orang, "Jangan terlalu gembira, nanti sedih!" Perkataan orang emang benar adanya. Beberapa bulan yang lalu pada bulan puasa, aku dan keponakanku selalu buka bareng di rumahku. Namanya Pinda, umurnya baru 8 tahun. Dari kecil Pinda selalu main ke rumahku. Intinya Pinda udah seperti bagian dari anggota keluargaku. Kalau Pinda tidak datang sehari saja rasa ada yang kurang. Ibunya Pinda saudara sepupu dari ibuku. Ayahnya Pinda pulang sekali sepuluh hari karena kerja di Kota D. Ibunya Pinda menjual sarapan pagi di dekat rumahku dan saat puasa Ibu Pinda jualan saat sore hari hingga setelah Maghrib.
Setiap hari Pinda selalu main ke rumahku. Pinda punya kakak laki-laki, namanya Dafa. Dafa udah kelas 2 SMP. Biasanya Dafa setiap hari jemput Pinda ke rumahku untuk pulang ke rumahnya. Menjelang waktu berbuka aku pun mengajak Pinda untuk karoeke. Entah kenapa saat itu aku ngajaknya karoeke di kamarku. Â
"Pinda karoeke yuk, Tante Mila ada lagu kesukaanmu!" ucapku seraya tersenyum semringah kepada Pinda.
"Iya, ayok Tante. Lagu apa emangnya Tante?" tanya Pinda seraya memegang tanganku dan tertawa riang bersama Pinda.
"Ayok, Pinda. Udah liat aja nanti. Kita nyanyi yang keras ya, mumpung hujan lebat nih!" ajakku penuh semangat kepada Pinda.
"Iya deh Tante!" ucap Pinda singkat seraya masuk ke kamarku.
Setibanya di kamar, aku pun menghidupkan lagu kesukaan Pinda sekeras mungkin di handphoneku. Kami tertawa bersama mengikuti irama lagu. Saat itu ibuku sedang tidur, jadi aku dan Pinda karoekean di kamarku. Hingga waktu berbuka puasa tiba, aku keluar kamar dan membangunkan ibuku.
"Bu, bangun. Udah waktunya buka puasa!" ucapku seraya membangunkan Ibu dengan menggoyangkan tangannya.
"Nek, bangun. Ayo kita buka puasa bareng!" ucap Pinda kepada ibuku.
"Iya!" ucap ibuku singkat seraya bangun dari tidurnya.
Kami pun buka puasa bareng Pinda. Biasanya kami hanya buka puasa berdua karena Papa lagi kerja di Kota J dan adikku kuliah di Kota P. Aku kerja freelance di rumah karena tidak tega meninggalkan ibu sendirian di rumah. Pinda kadang-kadang buka puasa di rumahku, kadang-kadang Pinda buka puasa di kedai ibunya.
Â
Kami pun shalat Maghrib. Setelah itu, ibuku melanjutkan tidurnya kembali karena sudah lelah seharian beraktivitas.
Biasanya setelah shalat Maghrib, Dafa selalu menjemput Pinda untuk pulang ke rumahnya. Tapi udah hampir Isya pun Pinda tidak dijemput.
"Pinda, tumben Dafa belum menjemputmu!" ucapku seraya menatap ke arah Pinda.
"Iya, Tante. Tumben Bang Dafa belum menjemputku. Biasanya setelah Maghrib selalu jemput!" ucap Pinda seraya kesal karena Dafa belum juga menjemputnya.
"Mungkin bentar lagi, Pinda. Kan sekarang lagi hujan lebat, mungkin ibumu dan Dafa masih di kedai nunggu hujan reda!" ucapku seraya menenangkan Pinda.
"Iya, Tante!" ucap Pinda singkat kepadaku.
Hingga waktu Isya tiba, tapi Dafa belum juga menjemput Pinda. Pinda pun tak kuasa menahan kantuknya hingga tertidur di kamarku. Karena takut Pinda ngompol, aku pindahkan Pinda ke kursi tamu. Tiba-tiba ada Rino, anak saudara ibuku yang memanggil Tante Titi. Tante Titi adalah saudara ibuku sekaligus tetanggaku.
Aku tidak sengaja mendengar obrolan Tante Titi dan Rino. Aku dengar kalau Dafa anak Kak Tian kecelakaan, kakaknya Pinda. Aku shock mendengarnya. Aku tidak mau salah dengar, lalu aku memanggil ibuku untuk memastikan apa yang terjadi.
"Bu, bangun. Kata Rino kepada Tante Titi Dafa anaknya Kak Tian kecelakaan!" ucapku seraya menggoyangkan tangan ibuku dengan sekuat tenagaku.
"Hah, siapa?" tanya ibuku yang linglung karena baru bangun dari tidurnya.
"Dafa anaknya Kak Tian, Bu, kakaknya Pinda. Coba Ibu lihat keluar rumah dulu dan pastikan. Takutnya aku salah dengar!" ucapku dengan nada cemas kepada ibuku.
"Iya, Mila!" jawab ibuku singkat seraya keluar rumah memastikan yang terjadi.
Ibu pun keluar rumah dan memastikan apa yang terjadi. Ternyata benar, Dafa kecelakaan karena ditabrak Iwan, anaknya Tante Dina. Tante Dina adalah saudara sepupu papaku. Aku shock mendengarnya, tapi belum tau pasti gimana terjadinya. Keponakanku yang malang, Dafa. Aku bermonolog dalam hati. Ibu dan keluarga ibuku yang didekat rumahku ingin menjenguk Dafa ke rumah sakit dengan mobil Tante Titi.
Aku lihat Pinda tertidur pulas, tidak tega untuk membangunkannya. Tapi, kalau tidak dibangunkan, takutnya dia nangis kalau bangun tidur nanti dan dengar Dafa kecelakaan. Â Aku pun terpaksa membangunkannya.
"Pinda, bangun. Dafa, abangmu kecelakaan, Nak!" ucapku dengan nada sedih kepada Pinda.
"Abang Dafa kecelakaan Tante!" ucap Pinda dengan suara serak seraya terkejut dan matanya berkaca-kaca mendengar ucapanku.
"Iya, Pinda. Pinda jangan sedih ya, Tante temankan Pinda disini. Doakan Dafa cepat sembuh, ya Pinda!" ucapku seraya mengusap bahunya Pinda.
"Iya, Tante!" ucap Pinda singkat seraya melamun.
***
Ibu dan keluargaku pun pergi menjenguk Dafa ke rumah sakit. Sementara aku menjaga Pinda di rumah karena anak dibawah umur tidak boleh menjenguk orang sakit di rumah sakit. Pinda masih melamun dan matanya berkaca-kaca. Aku tetap membiarkan Pinda seperti itu karena takut dia tambah sedih dan menangis. Aku pun membuka W'a di handphoneku dan aku melihat story kakak sepupuku yang bernama Lita posting foto Dafa yang terbaring di rumah sakit.
"Pinda, lihat deh story W'a Kak Lita, ada foto Dafa yang terbaring di rumah sakit!" ucapku dengan hati-hati kepada Pinda.
"Aku mau lihat Tante, storynya Tante Lita. Boleh, ya?" tanya Pinda penuh harap kepadaku.
"Boleh, Pinda. Ini lihat aja, nih!" ucapku seraya memberikan handphoneku kepada Pinda.
"Tante, bibirnya Bang Dafa kenapa?" tanya Pinda dengan mata berkaca-kaca.
"Tante juga tidak tahu, Pinda. Nanti kita tanya Nenek kalau udah pulang ya, Nak. Sekarang Pinda makan dulu jajanan yang Pinda beli ya!" ucapku seraya mengusap bahu Pinda.
"Nggak mau!" ucap Pinda singkat kepadaku.
Aku hanya bisa terdiam dengan perkataan Pinda. Aku pun memasukkan jajanan Pinda ke kulkas. Kalau nanti Pibda mau makan jajanannya, tinggal ambil. Sungguh malangnya nasib keponakanku, kecelakaan seperti ini. Untungnya Pinda tidak bersama Dafa tadi. Jika bersama, mungkin mereka berdua kecelakaan.
Setelah ibu kembali, aku bertanya keadaan Dafa dan gimana kejadiannya. Ibu pun menceritakan semuanya kepadaku. Aku sedih mendengarnya. Ternyata kronologinya begini, Dafa pukul 18.00 WIB pergi beli jajanan untuk berbuka puasa padahal Dafa dilarang ibunya untuk pergi. Dafa tak menghiraukannya. Dafa pun pergi beli jajanan dekat kedainya, kebetulan waktu itu Dafa berdiri di pinggir jalan. Setelah membeli jajanan, dari seberang jalan Dafa melihat Dadang dan Rival sahabatnya pamit dan dadah kepada Dafa. Tanpa Dafa sadari, Dafa ditabrak dari belakang punggungnya oleh motor yang dikendarai oleh Iqbal, anak Tante Dina. Tante Dina adalah saudara sepupu papaku. Dafa pun langsung terlambung tinggi dan disambut oleh aspal. Melihat orang rame-rame, Kak Tian pun melihatnya dan dia shock melihat anaknya sudah terkapar tak berdaya di aspal. Segera Kak Tian minta tolong kepada warga untuk membawa Dafa ke rumah sakit menggunakan mobil warga. Dafa tak sadarkan diri dan wajahnya sudah mulai berubah, lebam-lebam dan bibirnya dower, berdarah lagi. Kata dokter kakinya patah dan harus di gips dan harus di scan otaknya untuk memastikan supaya tidak terjadi pendarahan di otak. Yang parahnya Tante Dina dan anaknya tidak menjenguk sama sekali Dafa, keponakanku yang malang itu.
"Bu, Tante Dina jenguk Dafa kan?" tanyaku kepada Ibu.
"Belum. Tadi ditelpon sama Irzan si Ardan bilang dia emosi karena ayahnya tak sadarkan diri. Irzan pun mengancam melaporkan ke polisi dan Ardan menyuruh untuk laporkan saja!" ucap Ibu dengan mata berkaca-kaca kepadaku.
Irzan adalah adik sepupunya Kak Tian yang diangkat anak oleh Kak Tian karena mamanya sudah meninggal dunia. Sedangkan Ardan adalah kakaknya Iqbal.
"Loh kok gitu sih respon mereka, Bu. Harusnya dia tanggung jawab dong!" ucapku dengan nada kesal.
"Katanya Om Don belum sadarkan diri. Setelah sadar pun katanya lupa ingatan, tapi dia ingat semuanya kecuali Dafa!" ucap Ibu dengan geram.
Om Don adalah suaminya Tante Dina. Dia digonceng Iqbal anaknya. Anak dibawah umur masa bawa motor, belum pantas rasanya.
"Masa iya lupa ingatan cuma sama Dafa doang, jelas banget itu akal-akalan mereka, Bu!" ucapku seraya memanyunkan bibirku.
"Iya, Ibu tahu. Setidaknya mereka liat Dafa karena sudah buat celaka anak orang!" ucap Ibu kepadaku.